Selamatkan Putri!
Ryan berlari dengan sepatu rodanya secepat angin. Secepat kilat dia melewati apa saja yang berada di hadapannya. Mulai dari melintasi para pejalan kaki hingga melompati mobil-mobil yang lalu lalang di sepanjang jalan. Dia tak menghiraukan makian dan umpatan dari mereka yang bertubi-tubi. Dia hanya peduli dengan satu hal saja. Menyelamatkan putri.
“Kamu mau apa?” tanya Linda begitu dia siuman. “Lepasin aku! Turunin, cepat turunin …!” dia meronta-ronta dan memukuli cowok itu bertubi-tubi.
“Oke,” Ryan melepaskannya. Ya, daripada membuang-buang energi yang berlebihan akibat pukulan keras dari cewek itu, lebih baik dia ikuti saja semua keinginannya. Namun dia mulai merasa ragu, setelah melihat jalan cewek itu yang sangat sempoyongan.
“Kamu yakin bisa jalan sendiri, Put?”
“Iya, aku masih kuat jalan kok,” jawabnya.
“Terserah kamu sajalah, Put,” Ryan menggeleng pelan.
Meski Linda hampir jatuh berkali-kali, dia masih tetap memaksakan diri. Keringat dingin mengucur deras membasahi tubuhnya. Sementara dibelakangnya, dengan setianya Ryan terus menawarkan bantuan. Namun dia tak jua mengindahkannya.
“Apa kamu yakin nggak memerlukan bantuan, Put?” tanyanya khawatir. Habis makin lama cewek itu terlihat makin kepayahan.
“Iya.”
“Kamu sangat lelah, Put. Biarkan aku menggendongmu!” Bujuk Ryan. “Kalau kamu terus nekat jua, kondisimu akan semakin memburuk nanti!”
“Aku nggak pa-pa, Ray. Aku masih kuat kok,” kata Linda bersikeras.
Belum pernah Ryan bertemu dengan cewek seperti dia. Cewek yang sangat percaya pada kemampuannya sendiri. Meski dalam kondisi yang lemah, dia tidak mau mengharapkan bantuan dari orang lain. Sikapnya itu benar-benar membuat cowok itu kagum padanya.
“Masih lama, Ray?” tanya Linda yang mukanya makin pucat pasi.
“Sebentar lagi juga sampai.”
“Sepertinya kita sudah lama menuruni jalan ini, kenapa nggak nyampai-nyampai juga?”
“Yah … jalan kamu aja secepat siput, wajar dong kalau nggak nyampai-nyampai, Put,” gurau Ryan yang membuat bibir cewek itu langsung mengerucut. Karena nggak mau dikatain jalannya kayak siput, Linda mempercepat langkahnya. Ryan hanya tersenyum geli melihat kegigihan cewek itu. Cowok itu coba menawarkan bantuan berulang kali begitu melihat kondisinya yang sangat lemah. Tapi cewek itu malah terus menerus menolaknya.
“Kamu masih sanggup, Put? Kalau nggak kuat, jangan terlalu memaksakan diri!”
“Aku masih sanggup, Ray. Aku …” Linda berusaha menjaga keseimbangan badannya namun dia tidak berhasil.
“Aaaa …!”
“Bruk …!”
Linda jatuh seketika. Dia semakin jengkel karena Ryan tidak segera menolong malah menertawakannya.
“Pendaratan yang sangat sempurna, Sayang. Bagaimana rasanya? Pasti sangat mengasyikkan bukan?” goda Ryan.
Linda mendengus kesal. Lalu dia berdiri kembali.
“Kamu nggak memerlukan bantuan dariku, Sayang?” goda Ryan makin menjadi-jadi.
“Aku nggak memerlukannya.”
“Baiklah, kamu pasti bisa!” Ryan semakin terpingkal-pingkal yang membuat Linda semakin kesal saja.
Linda ingin berlari secepat angin, namun langkah kakinya semakin lemah. Peluh bercucuran di mana-mana, diiringi mata mengabur. Kini yang terlihat hanya bayang-bayang samar saja.
“Putri …!” Ryan langsung merengkuhnya dan berlari sekencang-kencangnya menuju rumah sakit.
***
Pikiran anak-nak Pelangi melayang ke mana-mana. Mereka tidak konsentrasi dengan mata kuliah yang disampaikan oleh pak Ihsan. Mereka sangat mengkhawatirkan keadaan Linda.
“Bagaimana kabar Putri sekarang ya?” bisik Fred.
“Dia akan baik-baik saja. Ray pasti akan lakukan yang terbaik untuk menolongnya,” bisik Andre ke telinga cowok itu pula.
“Tapi, sampai sekarang Ray belum juga kasih kabar,” katanya panik.
“Sabar, Fred. Nanti dia juga akan kasih kabar ke kita kok,” kata Andre mencoba menenangkannya.
Tak jauh beda dengan Fred, Lya juga merasakan hal yang sama pula. Dia menanyakan penyakit Linda pada Winda. Apalagi setelah terlintas kembali kata-kata Winda dan Vida yang meminta bantuan kepada Ryan untuk bersedia mendonorkan darahnya. Mungkinkah mereka ingin memberikan darah itu untuk Linda?
“Linda sakit apa sih, Win?”
“Dia hanya sakit kepala biasa,” pungkirnya.
“Bicaralah yang sejujurnya, Win! Siapa tahu kami bisa bantu kesulitan kalian!” Desak Lya.
Winda memandang sahabatnya untuk meminta pertimbangan apa yang harus dilakukannya. Berkata terus terang ataukah harus menutupi yang sebenarnya dari mereka? Akhirnya cewek itu mengatakan yang sejujurnya tentang kesehatan Linda setelah mendapat isyarat dari sahabatnya untuk mengatakan yang sebenarnya saja. Menurutnya, disembunyikan pun percuma karena cepat atau lambat mereka pasti akan tahu juga.
“Linda terkena racun ganas. Nyawanya bisa melayang kalau racun itu nggak segera dikeluarkan …” katanya nanar.
“Apa …?”
Semua orang yang mendengarnya sangat terkejut. Hati mereka mulai diselimuti rasa khawatir memikirkan keselamatan Linda.
“Kenapa kalian nggak menolongnya?” tanya Fay heran.
“Linda nggak mau kami menolongnya sebab mereka akan membunuh siapa saja yang berani menyelamatkan nyawanya. Dia nggak mau kami celaka,” jawab Via.
“Kami nggak akan ngebiarin Linda pergi begitu saja. Maka dari itu kami harus mencari bantuan tanpa sepengetahuannya,” Winda ikut menimpali.
“Jadi, kalian meminta bantuan Ray untuk menyelamatkannya, ya?” tanya Frans memastikan. Winda dan Via mengangguk. “Ayo, kita susul Ray sekarang! Paksa saja agar dia mau menolongnya!” Komando cowok itu.
Serentak teman-temannya setuju dengannya. Mereka ingin menyelamatkan Linda dengan cara apapun juga.
“Kalau Ray nggak mau juga, kita hajar saja beramai-ramai. Oke?” seru Reddy dan Eki menggebu-gebu.
“Oke,” jawab mereka serempak.
Mereka mengayunkan sepatu roda secepat kilat. Dalam sekejap mereka telah meninggalkan kampus menuju ke rumah sakit.
***
“Suster, tolong dia secepatnya!” Pinta Ryan dalam nafas yang masih memburu. “Mana dokter Ilham?”
“Beliau sedang bertugas menangani pasien,” jawabnya.
Setelah mengantarkan Linda ke ruangannya, Ryan memencet tombol kuning pada jam tangannya. Jam itu pun terbuka. Dia segera mencari keberadaan dokter Ilham. Setelah menemukannya, dia pun berlari kencang hingga sampai pada tujuannya.
“Boleh aku masuk, Ilham!” Katanya sembari tersenyum lebar.
“Ray … ada apa kamu mencariku?” tanya dokter Ilham yang seketika menghentikan aktifitasnya begitu melihat kedatangan saudara sepupunya itu.
“Temanku sakit.”
“Sakit apa?”
“Aku nggak tahu apa penyakitnya. Sudah dua kali dia pingsan. Cepatlah tolong dia!”
“Tapi … aku sedang mengobati bapak ini, Ray.”
“Suruh saja yang lain untuk menggantikanmu,” rengek Ryan.
Dokter Ilham menelphon suster Lani untuk menggantikannya. Setelah suster itu datang, Ryan mengajaknya pergi.
“Kamu mau apa, Ray?” tanyanya panik. Ryan hanya tersenyum saja dan tidak mengatakan sepatah katapun. Dia melesat dengan cepat sekali.
“Aaaa …!” Dokter Ilham menjerit histeris yang membuat Ryan terpingkal-pingkal.
Setelah melewati satu-persatu ruangan yang ada akhirnya mereka sampai juga di tempat tujuan. Bukannya langsung menolong Linda, dokter Ilham malah memuntahkan isi perutnya di toilet.
“Ah, kau ini payah sekali!” keluh Ryan yang berada di sampingnya itu. “Masa gitu aja muntah sih!”
“Gara-gara kamu jantung aku hampir copot, tau!” geramnya.
Ryan hanya terkekeh.
“Bagaimana aku akan menolongnya jika aku sendiri seperti ini?!”
“Kamu kan dokter terbaik di kota ini,” Ryan tersenyum nakal. “Masa kalah sama penyakit seringan itu sih!”
“Ringan katamu? Kamu hampir aja membuat aku celaka, Ray!”
“Cuma hampir. Belum celaka beneran, kan ?” Ryan makin getol menjahilinya.
Dokter Ilham hanya tersenyum kecut.
“Kamu itu sukanya ngejahilin orang melulu!” Keluhnya
“Tapi … selalu disayang semua orang, kan ?” Kata Ryan kegeeran.
Setelah selesai membersihkan toilet itu, mereka menemui Linda yang tergolek tak sadarkan diri.
“Kekasih barumu ya?” tanya dokter Ilham sembari memeriksa cewek itu.
“Bukan. Kami hanya teman biasa.”
“Teman biasa yang bisa diajak ke mana-mana?” godanya.
“Untuk jadi temannya aja susah. Apalagi ngajakin dia kencan? Bisa dilabrak aku habis-habisan!” Ryan tersenyum kecut.
“Galak sekali dia.”
“Cuma denganku saja dia galak begitu.”
Dokter Ilham tersenyum geli.
“Aku tunggu di luar saja, ya?”
“Terserah kamu sajalah.”
Ryan memutuskan menunggu di luar. Sekalian menanti kedatangan teman-temannya. Setelah menunggu cukup lama akhirnya mereka tiba juga.
“Bagaimana keadaan putri, Ray?” tanya Fred yang masih tersengal-sengal. Di belakangnya teman-temannya berhasil menyusulnya dan melontarkan pertanyaan yang sama.
“Bagaimana, Ray?”
Ryan hanya mengangkat bahu.
“Ilham baru memeriksanya. Kalian tunggu hasilnya nanti.”
Winda yang dicekam ketakutan tidak puas mendengar jawaban itu. Dia ingin mendapatkan jawaban yang pasti apakah sahabatnya itu dapat diselamatkan atau tidak.
“Dia akan baik-baik saja kan, Ray?”
“Dia akan baik-baik saja,” sahut Ryan menenangkan. “Cuma pingsan aja, sepanik itu. Apalagi kalau dia sekarat?!”
Winda langsung meninju perut cowok itu.
“Jangan ngomong yang macam-macam, Ray! Linda pasti akan selamat.”
“Kamu kenapa sih, Win?” omel Ryan. “Dari tadi nggak puas-puasnya mengomeli aku. Kamu perlu diperiksa juga? Supaya otakmu itu jadi dingin kembali!”
“Aku baik-baik saja.”
“Ya udah, kamu jangan ngomel melulu!”
Beberapa menit kemudian, dokter Ilham keluar dari ruangan itu. Ryan segera menanyakan keadaan Linda.
“Bagaimana, Ilham?”
Dokter Ilham menggeleng pelan. Wajahnya terlihat sangat panik sekali kala memikirkan kondisi cewek itu. Mampukah dia bertahan melewati masa kritis ini? Semoga saja mereka tidak terlambat memberikan pertolongan padanya.
“Dia dalam bahaya. Cepat bawa dia ke ruang operasi, Ray!”
“Apa …? Operasi …?” Ryan terkejut sekali. Serta-merta dia membawa cewek itu ke sana dibantu oleh teman-temannya. Sementara hatinya diliputi perasaan yang tidak menentu.
“Tolong selamatkan dia, Ilham!” Pinta Ryan. Diapun meminta bantuan pada Lya dan Fay yang biasanya selalu membantu mama mereka yang berprofesi sebagai seorang dokter pula. “Lya, Fay, tolong bantu dia!”
“Iya, kami akan berusaha sebaik-baiknya!” Kata mereka kompak.
“Apa cewek itu begitu berarti bagimu?” tanya dokter Ilham. Belum pernah saudara sepupunya itu mencemaskan seseorang seperti itu. Terlihat jelas di matanya kalau cowok itu tidak ingin kehilangan dia.
Ryan tersedak seketika. Entahlah mengapa tiba-tiba saja dia begitu takut kehilangan dirinya. Hatinya begitu hampa tanpa ada dia di sisinya. Dunianya terasa gelap gulita.
Mereka masuk ke ruang operasi, namun sebelum masuk Fay menggelandang lengan cowok itu untuk ikut bersama dirinya pula. Fay juga ingin Ryan turut andil dalam menyelamatkan Linda karena cowok itu memiliki golongan darah yang sama dengannya.
Fay menyuruh Ryan berbaring di samping Linda. Sementara mereka mulai mengobati cewek itu.
“Racunnya telah menyebar ke mana-mana, apa kita masih punya harapan?!” Kata dokter Ilham galau.
“Dia itu cewek yang kuat. Aku yakin dia pasti bisa melewati masa kritis ini. Kerahkan saja semua kemampuan kalian untuk menolongnya!” Tegas Ryan yang duduk dari tempat berbaringnya.
“Tapi … waktunya sangat sedikit,” terang dokter Ilham.
“Kalau begitu, pakai alat kami saja!”
“Alat kalian?”
Kedua cewek itu mengangguk, lalu memencet salah satu tombol pada jam tangan mereka. Keluarlah alat suntik yang sangat kecil sekali.
“Kalian yakin akan berhasil?” tanya Ryan ragu.
“Jangan lihat ukurannya tapi lihatlah kemampuannya, Ray!” Jawab Lya.
Mereka mengaktifkannya. Dengan kecepatan yang sangat tinggi sekali alat itu mampu mengeluarkan racun yang ada di tubuh Linda dan menaruhnya pada bejana yang telah tersedia di sana sampai selesai. Setelah sukses mengeluarkan racun itu, mereka mulai melakukan tranfusi darah. Sedikit demi sedikit darah Ryan itu mengalir ke dalam tubuh cewek itu dan memberikan angin segar untuk kesembuhannya. Setelah selesai, dokter Ilham mencabut selang yang digunakan untuk tranfusi darah itu.
“Alhamdulillah, kita berhasil!” Kata mereka bahagia.
Komentar
Posting Komentar