Naya mengajak
Della ke ruang perpustakaan. Tak jemu-jemu cewek itu memandangi Niki yang
sedang membaca buku di sudut ruangan. Della menggeleng pelan menyaksikan
kegilaan sahabatnya. Apa sih istimewanya cowok misterius itu sampai Naya begitu
tergila-gila padanya? Dia tak sepopuler Arfi, tak juga setampan paras Erga yang
sangat mempesona hingga membuat Airin tak berdaya di hadapannya. Meski
tergolong keren dan berwajah menawan di antara teman-temannya, tetap saja kalah
bersaing bila dibandingkan dengan kedua cowok itu.
“Apa sih yang
kamu suka darinya, Nay?”
“Aku menyukai
semua yang ada pada dirinya,” jawab Naya. Dia tak mengalihkan perhatian sedikit
pun darinya.
“Hapus saja
semua mimpimu, Nay! Niki nggak mungkin suka padamu. Dia menyukai cewek seperti Airin.
Cantik, pintar dan seksi,” usil Erga.
Sit! Erga lagi,
Erga lagi …. Kenapa sih cowok itu selalu ada di mana-mana? Kayak hantu
gentayangan saja.
“Diam kau, cowok
rese!” Naya memukul cowok itu dengan buku tebal yang ada di hadapannya.
“Jadi cewek tuh
yang lembut, Nay. Pantas aja nggak ada cowok yang mau jadian denganmu,” kata
Erga setengah mengeluh. Sekaligus menahan rasa nyeri yang menjalari perutnya
akibat pukulan keras cewek itu.
“Diam! Atau akan
kupukul perutmu itu sekali lagi. Mau?” ancam Naya.
“Duh, galaknya
…! Sukanya main pukul melulu,” Erga menggerutu.
“Makanya jangan
coba-coba memancing emosiku!”
“Siapa yang mau
memancing emosi? Aku hanya ingin mengatakan sesuatu yang penting padamu,” kata
Erga dengan mimik serius.
Mau mengatakan
sesuatu? Naya tersenyum sinis. Ih, gayanya sok penting sekali! Kayak anggota
DPR yang mau menyampaikan aspirasinya saja.
“Katakan saja!” seru
Naya tanpa mengalihkan perhatiannya kepada Niki. Tentu saja sikapnya itu
membuat Erga tersinggung. Merasa nggak dihargai.
“Bisakah kau
fokus barang sebentar, Nay? Aku sedang mengajakmu bicara.”
“Iya, aku dengar
kok. Nggak perlulah sesewot itu kali.”
“Kamu nggak
menghargaiku. Wajar dong kalau aku sewot.”
“Ah, kenapa juga
aku harus menghargaimu? Kamu saja nggak mau menghargaiku,” kata Naya beralasan.
“Kau …”
“Nah, tuh kan … benar apa yang aku
bilang.”
Erga gemas.
Della yang
menyaksikan mereka berdua termenung. Kalau dipikir-pikir, Naya dan Erga cukup
serasi. Meskipun selalu berantem setiap hari, tapi komunikasi mereka terbilang
lancar. Seperti nggak ada jurang pemisah saja. Naya dapat mengungkapkan luapan
emosinya. Berbeda bila cewek itu bersama dengan cowok lain.
“Malam Minggu
nanti, aku ingin main ke rumahmu. Boleh kan ?”
Naya ternganga.
Seperti reaksi Della. Cowok rese itu mau menyambangi rumahnya? Ampun deh!
“Nggak boleh,”
tolak Naya cepat.
“Aku akan tetap
ke sana
meskipun kamu tak mengizinkanku,” Erga ngotot.
“Terserah. Aku
nggak akan membukakan pintu untukmu.”
“Aku akan terus
menunggu sampai kamu mau membukakannya untukku.”
“Terserahlah
kalau kamu mau jadi patung penghias halaman rumahku semalaman,” kata Naya cuek.
“Lihat saja
nanti,” seru Erga seraya beranjak pergi.
Naya tak peduli.
Dia malah asyik memandangi Niki. Mengapa ya cowok itu hanya tertarik untuk
membaca buku saja? Tak tertarikkah dia pada seorang cewek? Atau jangan-jangan …
homo kali? Oh Tuhan … semoga saja firasatnya itu nggak benar.
“Sana samperin, Nay! Ajak
ngobrol atau apa sajalah? Yang penting kamu bisa pedekate,” saran Della
menyemangati.
“Emangnya
gampang apa, Del ?”
keluh Naya.
“Kalau belum
dicoba, manalah tahu hasilnya, Sayang,” seru Della gemas. Habis selama dua
tahun cinta cewek itu nggak ada kemajuannya sama sekali. Statis terus. Mana
disuruh pindah ke lain hati nggak mau. Bikin pusing aja.
“Iya, deh. Aku
akan coba.”
Dengan ragu-ragu
Naya menghampiri Niki. Hah … kenapa ya kok rasanya susah sekali mencari topik
pembicaraan? Kayak anak kecil yang baru latihan bicara saja.
“Lagi baca apaan
sih, Nik? Kok serius amat.” Akhirnya keluar juga kata-kata itu dari mulutnya.
Kira-kira cowok itu bakal nanggepin atau nggak, ya?
“Baca pelajaran
Ekonomi,” jawab Niki singkat.
Singkat amat.
Nggak pakai basa-basi. Naya jadi ekstra mikirnya deh. Topik apa ya kira-kira
yang bisa nyambung dengan hobi cowok itu? Oh ya … novel percintaan. Cowok itu
pasti suka membacanya.
“Nik, ada
koleksi novel terbaru nggak? Pinjemin dong!”
Niki memicingkan
matanya. Lalu berujar, “Maaf, aku nggak punya koleksi novel terbaru, Nay. Kalau
mau, biar aku pinjamkan ke Arfi. Kayaknya koleksi novel teenlit-nya banyak deh.
Bagus-bagus lagi.”
Tuing!
“Ng … nggak
usah, Nik,” tolak Naya seraya tersenyum kecut. Harus cari cara yang lain nih.
Tapi apa ya enaknya?
Katanya mau
membaca novel terbaru, tapi kok nggak mau. Aneh benar si Nay. Masa dia hanya
mau membaca koleksi darinya saja. Membingungkan! Niki pusing
memikirkannya.
“Aku mau beli
buku. Bisakah kamu menemaniku, Nik?” siasat Naya untuk mendekatinya.
“Bisa. Kapan mau
ke sana ?” Niki
balik menanyainya.
Hore! Akhirnya …
cowok itu memberikan respon yang diharapkan. Ngedate dengan cowok sekeren Niki?
So sweet ….
“Nanti sore.
Bagaimana?”
“Oke, nanti sore
aku jemput deh.”
“Oke, aku
tunggu,” ucap Naya berbunga-bunga. Setelah itu dia pun berlalu meninggalkan
cowok itu sembari memekikkan kata, “Yes!”
“Bagaimana,
Nay?” tanya Della dengan penuh rasa penasaran setelah cewek itu tiba di tempat
duduknya kembali.
“Akhirnya aku
bisa ngajakin dia jalan, Del. ”
Jawabnya senang.
“Selamat ya. Nah
gitu dong. Jangan cuma mandangin dia mulu!”
Naya tersenyum
simpul. Lalu berujar, “Berkat kamu akhirnya cintaku selangkah lebih maju. Kamu
memang sahabat terbaikku.”
Della tersenyum
senang. Lalu mengajak sahabatnya ke kelas.
“Kita ke kelas
yuk!”
Naya mengangguk.
Bersama-sama
mereka ke sana .
Di tengah-tengah perjalanan mereka bertemu dengan Erga yang sedang dirayu oleh
Airin. Mereka pun berhenti. Tertarik untuk menyimak pembicaraan mereka.
“Aku
mencintaimu, Ga,” ucap Airin.
“Memangnya
kenapa jika kamu mencintaiku?” Erga malah balik bertanya. Cuek banget.
“Aku ingin tahu
bagaimana perasaanmu. Apa kamu mencintaiku?”
“Mencintaimu?”
Erga tersenyum. Tapi senyumannya lebih mirip dengan sebuah ejekan. “Nggak. Aku
nggak mencintaimu, Rin.”
“Kenapa kamu
nggak mencintaiku, Ga? Memangnya apa kekuranganku?” mata Airin berkaca-kaca.
“Justru karena
kamu nyaris sempurna itulah yang membuatku enggan. Aku lebih suka pacaran sama
cewek biasa,” tukas Erga tanpa basa-basi.
Dada Airin sesak
mendengarnya. Lalu dia berujar, “Aku akan berubah menjadi apa yang kamu
inginkan. Asal kamu mau membukakan pintu hatimu, aku pasti rela melakukannya.”
“Kau sudah gila,
apa?” sentak Erga, tak suka.
“Ya, aku memang
sudah gila. Gila karena ingin memilikimu.”
“Cari saja cowok
yang lain! Sampai kapan pun aku nggak akan mungkin jadi milikmu,” tegas Erga
seraya berlalu dari hadapan cewek itu.
Air mata Airin
tumpah seketika.
Sementara itu …
Naya dan Della terbengong, tak percaya. Mereka mencubit pipi berharap semua
yang didengar itu hanya mimpi.
“Apa Erga sudah
gila? Mengapa dia menolak cinta cewek sesempurna Airin? Benar-benar gila tuh
cowok!” Naya menggelengkan kepala. Menyayangkan tindakan Erga. Kalau dia jadi
Erga, pasti akan langsung menerimanya. Sekalian ikut nebeng pamor ketenarannya
gitu. Hehehe … sambil menyelam minum air. Sayang kan kalau kesempatan sebagus itu
disia-siakan begitu saja.
“Tauk tuh cowok!
Kayak makhluk dari planet lain aja deh,” Della ikut menanggapi.
“Jangan-jangan
Erga itu alien yang lagi berkeliaran di bumi kali, ya?”
“Stt … jangan
keras-keras ngomongnya! Kalau ketahuan, bahaya, Nay,” Della mengingatkan.
“Biarin!” kata
Naya cuek. Memangnya apalagi yang bisa dilakukan oleh cowok itu? Paling-paling
juga bakalan dikerjai habis-habisan. Udah terbiasa. Jadi nggak akan terkejut
lagi deh.
“Jangan terlalu
antipati sama dia, Nay! Nggak baik. Perasaan bisa berubah-rubah kapan saja.
Hari ini benci, besok malah dicintai. Makanya jangan terlalu berlebihan
membenci seseorang,” nasehat Della.
“Nggak
mungkinlah aku jatuh cinta pada cowok rese itu, Del. Memangnya sudah nggak ada
cowok baik di dunia ini, apa?” sinis Naya.
“Nay, nggak sadarkah
kamu bahwa Erga telah menjadi bagian dari hidupmu?”
“Kamu kok jadi
ngaco begitu sih, Del. Ketularan virus error-nya
Erga, ya?”
Della mencubit
pinggang Naya dengan gemas.
Mereka kembali
ke kelas. Di kelas, Naya mengusili Erga. Ingin menjadikan cowok itu sebagai
bulan-bulanannya. Balas dendam gitu deh ceritanya. Masa dia harus jadi korban
melulu sih. Sekali-kali kek jadi nona kuat lagi perkasa yang mampu menindas
cowok rese seperti Erga.
“Hai, cowok rese.
Kenapa tak kauterima saja cintanya Airin? Jaim banget sih jadi orang.”
Tak
disangka-sangka, Erga menarik kasar tangan Naya. Hingga jarak di antara mereka
hanya beberapa senti saja.
“Aku maunya
jadian sama kamu. Paham?”
Tatapan mata
Erga yang tajam itu menembus jantung Naya. Cewek itu memukul kepala Erga guna
menghindarinya.
Tak jauh dari
tempat mereka berdua, nampaklah Della, Arfi serta Airin diselimuti kecemasan
yang hebat. Mungkinkah suatu hari nanti kedua insan itu akan saling jatuh
cinta? Rasanya bukan hal yang mustahil kalau semua itu akan menjadi kenyataan.
Bila perlahan-lahan rasa benci mulai menghilang, maka akan muncullah
benih-benih cinta baru.
“Siapa juga yang
sudi jadian sama kamu?” sinis Naya.
Erga hanya
terkekeh.
Inginnya
mengerjai Erga. Eh … malah dia sendiri yang terpancing emosi. Kenapa sih Erga
harus menyerangnya dengan tatapan mata itu? Nggak ada cowok yang berani menatapnya
seperti itu. Bahkan Niki―cowok yang ditaksirnya selama ini. Dengan gontai Naya
kembali ke tempat duduknya.
“Kamu baik-baik
saja, Nay?” tanya Della ingin mengetahui kondisi sahabatnya.
Naya mengangguk,
lalu menelungkupkan wajahnya di atas meja. Dia masih merasa shock dengan
reaksi Erga barusan. Ingin menjernihkan pikiran kembali.
Di sepanjang
pelajaran, Naya lebih banyak diam. Pikirannya tidak bisa fokus sebagaimana biasanya.
Belum bisa menghilangkan gangguan tersebut. Sampai bel pulang berbunyi. Dalam
perjalanan pulang ke rumah, Naya tak henti-hentinya terus berpikir tentang
perkataan Erga yang tak bisa dia mengerti.
***
Jum’at sore yang
indah, Naya heboh mempercantik diri. Dia harus tampil sesempurna mungkin di
hadapan Niki. Kata orang, “Cinta itu bermula dari pandangan, lalu turunlah ke
hati.” Mana mungkinlah Niki akan tergetar hatinya bila penampilan luarnya saja
tak menarik untuk dipandang mata.
Sementara di
bawah, Niki tak sabar menunggu kedatangan Naya di hadapannya. Bukan, bukan
lantaran dia tak sabar melihat kecantikannya. Tapi … bosan menunggu terlalu
lama. Maklumlah, dia kan
tipe cowok berdisiplin tinggi yang sangat menghargai waktu.
“Kenapa Nay
dandannya lama sekali ya, Om , Tante?” tanya
Niki sambil resah menunggu.
Mama dan papa
Naya tersenyum geli. Wajarlah anak cewek dandannya lama. Apalagi kalau perginya
sama cowok yang ditaksirnya. Dalam hati beliau berdua memuji kepolosannya.
Mungkin cowok itu belum pernah jatuh cinta sebelumnya.
“Mungkin lagi
memilih gaun yang tepat,” jawab mama Naya asal.
“Kami kan cuma pergi ke toko
buku. Kayaknya nggak perlu deh pakai acara dandan seheboh itu, Tante.”
“Namanya juga
anak cewek. Pasti inginnya tampil cantik selalu. Nggak ke pasar, toko buku,
ataupun ke tempat-tempat yang lainnya,” ujar papa Naya.
“Ribet amat jadi
cewek ya, Om ?”
“Ya begitulah.”
Arfi mengamati
jam di tangan kirinya lekat-lekat. Sudah setengah jam lamanya dia menunggu
Naya. Namun cewek itu tak juga turun untuk menemuinya. Kalau tahu bakal semolor
ini, dia takkan menyambangi rumah Naya tepat waktu. Membosankan menunggu Naya
selesai berdandan. Pakai make-up, gaun dan aksesoris apa saja sampai
menghabiskan waktu selama itu? Menjemukan!
Di depan cermin
meja hiasnya, Naya tersenyum senang. Pikirannya melayang membayangkan Niki akan
begitu terkesima menyaksikan penampilannya. Mengucapkan beribu-ribu kata pujian
untuknya. Dia pun turun menemui pujaan hatinya.
“Hm … akhirnya
selesai juga,” gumam Niki. “Ngapain aja kamu di dalam tadi, Nay?” tanya Niki.
Pertanyaan itu bikin Naya kecewa.
Naya mau
menonjok perut cowok itu saja. Sudah dibela-belain dandan secantik-cantiknya,
eh … cowok itu malah tak menghargainya. Meski hati kesal minta ampun, dia tetap
memamerkan senyumnya.
“Tentu saja
dandan, Nik. Bagaimana penampilanku sekarang? Cantik bukan?”
Niki terpingkal.
Geli menyaksikan kecentilannya Naya. Kenapa dengan cewek itu, ya? Kesambet apa
dia sampai jadi seaneh gitu?
“Cantikan juga
hari biasanya. Auranya bisa terpancar keluar,” cetus Niki dengan cueknya.
Sial! Kalau tahu
begitu, dia takkan menghabiskan waktunya untuk memoles wajah dan memilih gaun
terindah. Apes nian!
“Kenapa sih
nggak bilang padaku kalau kamu nggak suka aku dandan, Nik?” Naya dongkol
setengah mati.
“Karena kamu
nggak menanyakannya padaku. Kalau kamu tanya, pasti aku jawab,” jawab Niki
beralasan.
“Menyebalkan!”
Niki
terpingkal-pingkal. Sama seperti papa dan mama Naya.
“Jangan sewot
lagi, Sayang! Yang penting kan
kalian bisa jalan sore ini,” bujuk mamanya.
Naya tersenyum.
Meskipun agak sedikit kecut.
Niki segera
berpamitan. Mengajak Naya ke toko buku dengan mengendarai motornya. Sesekali di
tengah perjalanan dia tersenyum geli bila mengingat peristiwa tadi. Nay … Nay …
ada-ada saja cewek yang satu itu! Nggak di sekolah, di rumah, selalu saja bikin
orang geli. Dia memang lucu. Pantas saja kalau Erga suka sekali menggodanya.
Perlahan-lahan
kekesalan Naya berangsur-angsur hilang. Kini yang ada di dalam hatinya hanya
kegembiraan. Menikmati detik-detik romantis bersama cowok itu. Dia sengaja
mengeratkan pegangan agar bisa mencium bau tubuh Niki dari dekat. Aroma parfum
yang sangat maskulin merasuki indera penciumannya.
Di sebuah mall
Mangga Dua, JAKPUS, Niki memarkirkan motornya, lalu menggamit lengan Naya
memasuki toko buku. Terlihat jelas raut muka Naya sangat ceria. Seulas senyuman
menghiasi bibirnya.
“Novel ini
kayaknya cocok buatmu deh, Nay,” kata Niki seraya menyodorkan novel yang
dipegangnya.
“Nggak, ah.
Ending ceritanya menyedihkan.”
“Lho? Tahu
darimana?” selidik Niki.
“Dari Arfi. Dia
memberikan novel itu seminggu yang lalu.”
“Lalu kamu
maunya beli novel yang kayak gimana?”
“Aku inginnya
beli novel cinta yang happy ending.”
Niki
mengangguk-angguk. Mengerti dengan seleranya cewek itu. Dia pun mencarikan
novel yang diinginkan oleh Naya. Setelah mencari ke sana-kemari, akhirnya dia
menemukannya jua. Dia segera memberikannya kepada Naya. Lalu mencari sebuah
buku tentang ilmu komputer. Setelah membayar buku yang mereka pilih, kemudian
Niki mengajak Naya makan di sebuah cafe yang sangat banyak dikenal orang.
“Lain kali kita
jalan berdua lagi ya, Nik?” usul Naya seraya memasukkan kentang goreng ke dalam
mulutnya.
“Iya. Kalau ada
waktu lagi, aku pasti akan mengajakmu.”
Naya senang
mendengarnya. Sore itu merupakan saat terindah baginya. Sebab dia dapat
bercengkrama dengan Niki. Melewati waktu dalam rona kebahagiaan. Tanpa adanya
gangguan dari Erga pula. Betapa ingin dia mengungkapkan perasaannya. Tentang
cinta yang telah lama dipendamnya. Jika bukan lantaran malu, dia pasti akan
menembak cowok itu detik ini juga. Akankah cinta yang telah dipersembahkannya
akan sampai kepada pujaan hatinya?
Niki mengamati
Naya dengan seksama. Dia ingin mendapatkan jawaban, “Mengapa Erga begitu
tergila-gila padanya? Sihir apa yang digunakan oleh cewek itu sampai Erga tak
mampu melepaskan diri dari jeratan jaring-jaring cintanya?”
Setelah
melewatkan waktu yang membuat Naya terkesan, Niki mengantarkan Naya pulang ke
rumah.
“Selamat malam,
Nay. Semoga kamu tak kecewa dengan acara yang barusan kita lakukan,” kata Niki.
“Oh, tentu
tidak. Semoga kamu tidak bosan mengajak aku lagi,” jawab Naya.
“Sampai bertemu
besok ya, Nay,” kata Niki lagi.
Komentar
Posting Komentar