Love Competition bag 3


Naya mengajak Della ke ruang perpustakaan. Tak jemu-jemu cewek itu memandangi Niki yang sedang membaca buku di sudut ruangan. Della menggeleng pelan menyaksikan kegilaan sahabatnya. Apa sih istimewanya cowok misterius itu sampai Naya begitu tergila-gila padanya? Dia tak sepopuler Arfi, tak juga setampan paras Erga yang sangat mempesona hingga membuat Airin tak berdaya di hadapannya. Meski tergolong keren dan berwajah menawan di antara teman-temannya, tetap saja kalah bersaing bila dibandingkan dengan kedua cowok itu.
“Apa sih yang kamu suka darinya, Nay?”
“Aku menyukai semua yang ada pada dirinya,” jawab Naya. Dia tak mengalihkan perhatian sedikit pun darinya.
“Hapus saja semua mimpimu, Nay! Niki nggak mungkin suka padamu. Dia menyukai cewek seperti Airin. Cantik, pintar dan seksi,” usil Erga.
Sit! Erga lagi, Erga lagi …. Kenapa sih cowok itu selalu ada di mana-mana? Kayak hantu gentayangan saja.
“Diam kau, cowok rese!” Naya memukul cowok itu dengan buku tebal yang ada di hadapannya.
“Jadi cewek tuh yang lembut, Nay. Pantas aja nggak ada cowok yang mau jadian denganmu,” kata Erga setengah mengeluh. Sekaligus menahan rasa nyeri yang menjalari perutnya akibat pukulan keras cewek itu.
“Diam! Atau akan kupukul perutmu itu sekali lagi. Mau?” ancam Naya.
“Duh, galaknya …! Sukanya main pukul melulu,” Erga menggerutu.
“Makanya jangan coba-coba memancing emosiku!”
“Siapa yang mau memancing emosi? Aku hanya ingin mengatakan sesuatu yang penting padamu,” kata Erga dengan mimik serius.
Mau mengatakan sesuatu? Naya tersenyum sinis. Ih, gayanya sok penting sekali! Kayak anggota DPR yang mau menyampaikan aspirasinya saja. 
“Katakan saja!” seru Naya tanpa mengalihkan perhatiannya kepada Niki. Tentu saja sikapnya itu membuat Erga tersinggung. Merasa nggak dihargai.
“Bisakah kau fokus barang sebentar, Nay? Aku sedang mengajakmu bicara.”
“Iya, aku dengar kok. Nggak perlulah sesewot itu kali.”
“Kamu nggak menghargaiku. Wajar dong kalau aku sewot.”
“Ah, kenapa juga aku harus menghargaimu? Kamu saja nggak mau menghargaiku,” kata Naya beralasan.
“Kau …”
“Nah, tuh kan … benar apa yang aku bilang.”
Erga gemas. 
Della yang menyaksikan mereka berdua termenung. Kalau dipikir-pikir, Naya dan Erga cukup serasi. Meskipun selalu berantem setiap hari, tapi komunikasi mereka terbilang lancar. Seperti nggak ada jurang pemisah saja. Naya dapat mengungkapkan luapan emosinya. Berbeda bila cewek itu bersama dengan cowok lain.
“Malam Minggu nanti, aku ingin main ke rumahmu. Boleh kan?”
Naya ternganga. Seperti reaksi Della. Cowok rese itu mau menyambangi rumahnya? Ampun deh!
“Nggak boleh,” tolak Naya cepat.
“Aku akan tetap ke sana meskipun kamu tak mengizinkanku,” Erga ngotot.
“Terserah. Aku nggak akan membukakan pintu untukmu.”
“Aku akan terus menunggu sampai kamu mau membukakannya untukku.”
“Terserahlah kalau kamu mau jadi patung penghias halaman rumahku semalaman,” kata Naya cuek.
“Lihat saja nanti,” seru Erga seraya beranjak pergi.
Naya tak peduli. Dia malah asyik memandangi Niki. Mengapa ya cowok itu hanya tertarik untuk membaca buku saja? Tak tertarikkah dia pada seorang cewek? Atau jangan-jangan … homo kali? Oh Tuhan … semoga saja firasatnya itu nggak benar.
Sana samperin, Nay! Ajak ngobrol atau apa sajalah? Yang penting kamu bisa pedekate,” saran Della menyemangati.
“Emangnya gampang apa, Del?” keluh Naya.
“Kalau belum dicoba, manalah tahu hasilnya, Sayang,” seru Della gemas. Habis selama dua tahun cinta cewek itu nggak ada kemajuannya sama sekali. Statis terus. Mana disuruh pindah ke lain hati nggak mau. Bikin pusing aja.
“Iya, deh. Aku akan coba.”
Dengan ragu-ragu Naya menghampiri Niki. Hah … kenapa ya kok rasanya susah sekali mencari topik pembicaraan? Kayak anak kecil yang baru latihan bicara saja.
“Lagi baca apaan sih, Nik? Kok serius amat.” Akhirnya keluar juga kata-kata itu dari mulutnya. Kira-kira cowok itu bakal nanggepin atau nggak, ya?
“Baca pelajaran Ekonomi,” jawab Niki singkat.
Singkat amat. Nggak pakai basa-basi. Naya jadi ekstra mikirnya deh. Topik apa ya kira-kira yang bisa nyambung dengan hobi cowok itu? Oh ya … novel percintaan. Cowok itu pasti suka membacanya.
“Nik, ada koleksi novel terbaru nggak? Pinjemin dong!”
Niki memicingkan matanya. Lalu berujar, “Maaf, aku nggak punya koleksi novel terbaru, Nay. Kalau mau, biar aku pinjamkan ke Arfi. Kayaknya koleksi novel teenlit-nya banyak deh. Bagus-bagus lagi.”
Tuing!
“Ng … nggak usah, Nik,” tolak Naya seraya tersenyum kecut. Harus cari cara yang lain nih. Tapi apa ya enaknya?
Katanya mau membaca novel terbaru, tapi kok nggak mau. Aneh benar si Nay. Masa dia hanya mau membaca koleksi darinya saja. Membingungkan! Niki pusing memikirkannya. 
“Aku mau beli buku. Bisakah kamu menemaniku, Nik?” siasat Naya untuk mendekatinya.
“Bisa. Kapan mau ke sana?” Niki balik menanyainya.
Hore! Akhirnya … cowok itu memberikan respon yang diharapkan. Ngedate dengan cowok sekeren Niki? So sweet ….
“Nanti sore. Bagaimana?”
“Oke, nanti sore aku jemput deh.”
“Oke, aku tunggu,” ucap Naya berbunga-bunga. Setelah itu dia pun berlalu meninggalkan cowok itu sembari memekikkan kata, “Yes!”
“Bagaimana, Nay?” tanya Della dengan penuh rasa penasaran setelah cewek itu tiba di tempat duduknya kembali.
“Akhirnya aku bisa ngajakin dia jalan, Del.” Jawabnya senang.
“Selamat ya. Nah gitu dong. Jangan cuma mandangin dia mulu!”
Naya tersenyum simpul. Lalu berujar, “Berkat kamu akhirnya cintaku selangkah lebih maju. Kamu memang sahabat terbaikku.”
Della tersenyum senang. Lalu mengajak sahabatnya ke kelas.
“Kita ke kelas yuk!”
Naya mengangguk.
Bersama-sama mereka ke sana. Di tengah-tengah perjalanan mereka bertemu dengan Erga yang sedang dirayu oleh Airin. Mereka pun berhenti. Tertarik untuk menyimak pembicaraan mereka.
“Aku mencintaimu, Ga,” ucap Airin.
“Memangnya kenapa jika kamu mencintaiku?” Erga malah balik bertanya. Cuek banget.
“Aku ingin tahu bagaimana perasaanmu. Apa kamu mencintaiku?”
“Mencintaimu?” Erga tersenyum. Tapi senyumannya lebih mirip dengan sebuah ejekan. “Nggak. Aku nggak mencintaimu, Rin.”
“Kenapa kamu nggak mencintaiku, Ga? Memangnya apa kekuranganku?” mata Airin berkaca-kaca.
“Justru karena kamu nyaris sempurna itulah yang membuatku enggan. Aku lebih suka pacaran sama cewek biasa,” tukas Erga tanpa basa-basi.
Dada Airin sesak mendengarnya. Lalu dia berujar, “Aku akan berubah menjadi apa yang kamu inginkan. Asal kamu mau membukakan pintu hatimu, aku pasti rela melakukannya.”
“Kau sudah gila, apa?” sentak Erga, tak suka.
“Ya, aku memang sudah gila. Gila karena ingin memilikimu.”
“Cari saja cowok yang lain! Sampai kapan pun aku nggak akan mungkin jadi milikmu,” tegas Erga seraya berlalu dari hadapan cewek itu.
Air mata Airin tumpah seketika.
Sementara itu … Naya dan Della terbengong, tak percaya. Mereka mencubit pipi berharap semua yang didengar itu hanya mimpi.
“Apa Erga sudah gila? Mengapa dia menolak cinta cewek sesempurna Airin? Benar-benar gila tuh cowok!” Naya menggelengkan kepala. Menyayangkan tindakan Erga. Kalau dia jadi Erga, pasti akan langsung menerimanya. Sekalian ikut nebeng pamor ketenarannya gitu. Hehehe … sambil menyelam minum air. Sayang kan kalau kesempatan sebagus itu disia-siakan begitu saja.
“Tauk tuh cowok! Kayak makhluk dari planet lain aja deh,” Della ikut menanggapi.
“Jangan-jangan Erga itu alien yang lagi berkeliaran di bumi kali, ya?”
“Stt … jangan keras-keras ngomongnya! Kalau ketahuan, bahaya, Nay,” Della mengingatkan.
“Biarin!” kata Naya cuek. Memangnya apalagi yang bisa dilakukan oleh cowok itu? Paling-paling juga bakalan dikerjai habis-habisan. Udah terbiasa. Jadi nggak akan terkejut lagi deh.
“Jangan terlalu antipati sama dia, Nay! Nggak baik. Perasaan bisa berubah-rubah kapan saja. Hari ini benci, besok malah dicintai. Makanya jangan terlalu berlebihan membenci seseorang,” nasehat Della.
“Nggak mungkinlah aku jatuh cinta pada cowok rese itu, Del. Memangnya sudah nggak ada cowok baik di dunia ini, apa?” sinis Naya.
“Nay, nggak sadarkah kamu bahwa Erga telah menjadi bagian dari hidupmu?”
“Kamu kok jadi ngaco begitu sih, Del. Ketularan virus error-nya Erga, ya?”
Della mencubit pinggang Naya dengan gemas.
Mereka kembali ke kelas. Di kelas, Naya mengusili Erga. Ingin menjadikan cowok itu sebagai bulan-bulanannya. Balas dendam gitu deh ceritanya. Masa dia harus jadi korban melulu sih. Sekali-kali kek jadi nona kuat lagi perkasa yang mampu menindas cowok rese seperti Erga.
“Hai, cowok rese. Kenapa tak kauterima saja cintanya Airin? Jaim banget sih jadi orang.”
Tak disangka-sangka, Erga menarik kasar tangan Naya. Hingga jarak di antara mereka hanya beberapa senti saja.
“Aku maunya jadian sama kamu. Paham?”
Tatapan mata Erga yang tajam itu menembus jantung Naya. Cewek itu memukul kepala Erga guna menghindarinya.
Tak jauh dari tempat mereka berdua, nampaklah Della, Arfi serta Airin diselimuti kecemasan yang hebat. Mungkinkah suatu hari nanti kedua insan itu akan saling jatuh cinta? Rasanya bukan hal yang mustahil kalau semua itu akan menjadi kenyataan. Bila perlahan-lahan rasa benci mulai menghilang, maka akan muncullah benih-benih cinta baru.
“Siapa juga yang sudi jadian sama kamu?” sinis Naya.
Erga hanya terkekeh.
Inginnya mengerjai Erga. Eh … malah dia sendiri yang terpancing emosi. Kenapa sih Erga harus menyerangnya dengan tatapan mata itu? Nggak ada cowok yang berani menatapnya seperti itu. Bahkan Niki―cowok yang ditaksirnya selama ini. Dengan gontai Naya kembali ke tempat duduknya.
“Kamu baik-baik saja, Nay?” tanya Della ingin mengetahui kondisi sahabatnya.
Naya mengangguk, lalu menelungkupkan wajahnya di atas meja. Dia masih merasa shock dengan reaksi Erga barusan. Ingin menjernihkan pikiran kembali.
Di sepanjang pelajaran, Naya lebih banyak diam. Pikirannya tidak bisa fokus sebagaimana biasanya. Belum bisa menghilangkan gangguan tersebut. Sampai bel pulang berbunyi. Dalam perjalanan pulang ke rumah, Naya tak henti-hentinya terus berpikir tentang perkataan Erga yang tak bisa dia mengerti.
***
Jum’at sore yang indah, Naya heboh mempercantik diri. Dia harus tampil sesempurna mungkin di hadapan Niki. Kata orang, “Cinta itu bermula dari pandangan, lalu turunlah ke hati.” Mana mungkinlah Niki akan tergetar hatinya bila penampilan luarnya saja tak menarik untuk dipandang mata.
Sementara di bawah, Niki tak sabar menunggu kedatangan Naya di hadapannya. Bukan, bukan lantaran dia tak sabar melihat kecantikannya. Tapi … bosan menunggu terlalu lama. Maklumlah, dia kan tipe cowok berdisiplin tinggi yang sangat menghargai waktu.
“Kenapa Nay dandannya lama sekali ya, Om, Tante?” tanya Niki sambil resah menunggu.
Mama dan papa Naya tersenyum geli. Wajarlah anak cewek dandannya lama. Apalagi kalau perginya sama cowok yang ditaksirnya. Dalam hati beliau berdua memuji kepolosannya. Mungkin cowok itu belum pernah jatuh cinta sebelumnya.
“Mungkin lagi memilih gaun yang tepat,” jawab mama Naya asal.
“Kami kan cuma pergi ke toko buku. Kayaknya nggak perlu deh pakai acara dandan seheboh itu, Tante.”
“Namanya juga anak cewek. Pasti inginnya tampil cantik selalu. Nggak ke pasar, toko buku, ataupun ke tempat-tempat yang lainnya,” ujar papa Naya.
“Ribet amat jadi cewek ya, Om?”
“Ya begitulah.”
Arfi mengamati jam di tangan kirinya lekat-lekat. Sudah setengah jam lamanya dia menunggu Naya. Namun cewek itu tak juga turun untuk menemuinya. Kalau tahu bakal semolor ini, dia takkan menyambangi rumah Naya tepat waktu. Membosankan menunggu Naya selesai berdandan. Pakai make-up, gaun dan aksesoris apa saja sampai menghabiskan waktu selama itu? Menjemukan!
Di depan cermin meja hiasnya, Naya tersenyum senang. Pikirannya melayang membayangkan Niki akan begitu terkesima menyaksikan penampilannya. Mengucapkan beribu-ribu kata pujian untuknya. Dia pun turun menemui pujaan hatinya.
“Hm … akhirnya selesai juga,” gumam Niki. “Ngapain aja kamu di dalam tadi, Nay?” tanya Niki. Pertanyaan itu bikin Naya kecewa.
Naya mau menonjok perut cowok itu saja. Sudah dibela-belain dandan secantik-cantiknya, eh … cowok itu malah tak menghargainya. Meski hati kesal minta ampun, dia tetap memamerkan senyumnya.
“Tentu saja dandan, Nik. Bagaimana penampilanku sekarang? Cantik bukan?”
Niki terpingkal. Geli menyaksikan kecentilannya Naya. Kenapa dengan cewek itu, ya? Kesambet apa dia sampai jadi seaneh gitu?
“Cantikan juga hari biasanya. Auranya bisa terpancar keluar,” cetus Niki dengan cueknya.
Sial! Kalau tahu begitu, dia takkan menghabiskan waktunya untuk memoles wajah dan memilih gaun terindah. Apes nian!
“Kenapa sih nggak bilang padaku kalau kamu nggak suka aku dandan, Nik?” Naya dongkol setengah mati.
“Karena kamu nggak menanyakannya padaku. Kalau kamu tanya, pasti aku jawab,” jawab Niki beralasan.
“Menyebalkan!”
Niki terpingkal-pingkal. Sama seperti papa dan mama Naya.
“Jangan sewot lagi, Sayang! Yang penting kan kalian bisa jalan sore ini,” bujuk mamanya.
Naya tersenyum. Meskipun agak sedikit kecut.
Niki segera berpamitan. Mengajak Naya ke toko buku dengan mengendarai motornya. Sesekali di tengah perjalanan dia tersenyum geli bila mengingat peristiwa tadi. Nay … Nay … ada-ada saja cewek yang satu itu! Nggak di sekolah, di rumah, selalu saja bikin orang geli. Dia memang lucu. Pantas saja kalau Erga suka sekali menggodanya.
Perlahan-lahan kekesalan Naya berangsur-angsur hilang. Kini yang ada di dalam hatinya hanya kegembiraan. Menikmati detik-detik romantis bersama cowok itu. Dia sengaja mengeratkan pegangan agar bisa mencium bau tubuh Niki dari dekat. Aroma parfum yang sangat maskulin merasuki indera penciumannya.
Di sebuah mall Mangga Dua, JAKPUS, Niki memarkirkan motornya, lalu menggamit lengan Naya memasuki toko buku. Terlihat jelas raut muka Naya sangat ceria. Seulas senyuman menghiasi bibirnya.
“Novel ini kayaknya cocok buatmu deh, Nay,” kata Niki seraya menyodorkan novel yang dipegangnya.
“Nggak, ah. Ending ceritanya menyedihkan.”
“Lho? Tahu darimana?” selidik Niki.
“Dari Arfi. Dia memberikan novel itu seminggu yang lalu.”
“Lalu kamu maunya beli novel yang kayak gimana?”
“Aku inginnya beli novel cinta yang happy ending.”
Niki mengangguk-angguk. Mengerti dengan seleranya cewek itu. Dia pun mencarikan novel yang diinginkan oleh Naya. Setelah mencari ke sana-kemari, akhirnya dia menemukannya jua. Dia segera memberikannya kepada Naya. Lalu mencari sebuah buku tentang ilmu komputer. Setelah membayar buku yang mereka pilih, kemudian Niki mengajak Naya makan di sebuah cafe yang sangat banyak dikenal orang.
“Lain kali kita jalan berdua lagi ya, Nik?” usul Naya seraya memasukkan kentang goreng ke dalam mulutnya.
“Iya. Kalau ada waktu lagi, aku pasti akan mengajakmu.”
Naya senang mendengarnya. Sore itu merupakan saat terindah baginya. Sebab dia dapat bercengkrama dengan Niki. Melewati waktu dalam rona kebahagiaan. Tanpa adanya gangguan dari Erga pula. Betapa ingin dia mengungkapkan perasaannya. Tentang cinta yang telah lama dipendamnya. Jika bukan lantaran malu, dia pasti akan menembak cowok itu detik ini juga. Akankah cinta yang telah dipersembahkannya akan sampai kepada pujaan hatinya?
Niki mengamati Naya dengan seksama. Dia ingin mendapatkan jawaban, “Mengapa Erga begitu tergila-gila padanya? Sihir apa yang digunakan oleh cewek itu sampai Erga tak mampu melepaskan diri dari jeratan jaring-jaring cintanya?”
Setelah melewatkan waktu yang membuat Naya terkesan, Niki mengantarkan Naya pulang ke rumah.
“Selamat malam, Nay. Semoga kamu tak kecewa dengan acara yang barusan kita lakukan,” kata Niki.
“Oh, tentu tidak. Semoga kamu tidak bosan mengajak aku lagi,” jawab Naya.
“Sampai bertemu besok ya, Nay,” kata Niki lagi.

Komentar