Love Competition bag 1


“Tikus …!” jerit Naya ketakutan.
Erga tertawa terpingkal-pingkal saat berhasil menakut-nakuti Naya dengan seekor tikus putih.
Naya mendengus kesal. Ingin ditinjunya perut cowok itu agar berhenti tertawa untuk selamanya. Tak bosan-bosannya makhluk menyebalkan itu selalu mengganggunya. Menjadikannya sebagai bulan-bulanan setiap hari.
“Si Manis mau kenalan sama kamu nih, Nay!” goda Erga seraya melemparkan tikus itu ke meja Naya.
“Hi …!” Naya meloncat dari kursi, lalu kabur keluar kelas. Tapi dasar apes, Erga terus membuntutinya seraya mengacung-acungkan tikus yang dibawanya.
“Aaa …!”
Naya berlari kencang menuju halaman sekolah. Lalu memanjat salah satu dari pohon palm yang ada di sana. Dia tak peduli dengan hujan tawa dari teman-teman dan adik kelasnya yang telah berkerumun untuk menyaksikan adegan lucu itu.
“Turun dong, Nay! Si Manis sudah tak sabar menanti pelukanmu.” Asli, Erga mau ngakak sejadi-jadinya melihat muka Naya yang pucat pasi kayak kambing yang mau disembelih.
Naya manyun. Dibayar semilyar pun, dia takkan sudi melakukannya. Huh, mimpi apa semalam sampai harus bertingkah seperti Tarzan segala! Adakah seseorang yang berkenan untuk menyelamatkannya dari mimpi buruk itu? Ah, seandainya dia seperti Airin, pasti anak-anak cowok sudah berbondong-bondong untuk menolongnya. Tapi apalah daya. Dia hanya cewek biasa dengan muka dan otak yang pas-pasan pula. Jangankan ditaksir, nggak dikerjai saja, sudah alhamdulillah. Nasib, oh nasib …!
“Idih, amit-amit deh!” kata Naya nyinyir.
“Ya sudah. Kalau begitu, biar si Manis saja yang menemuimu,” Erga terkikik seraya menaruh tikus itu di pohon tersebut.
“Dasar gila!” geram Naya. Teganya Erga berbuat sekejam itu. Apa cowok itu sengaja ingin membuatnya mati ketakutan? Memangnya kesalahan apa yang telah diperbuatnya selama ini? Benar-benar tuh cowok nggak punya perasaan!
Erga terkekeh. Merekahkan senyum kemenangannya. Takkan ada cowok yang akan membantu Naya kali ini. Kedua cowok yang setia jadi bodyguardnya tengah sibuk dengan urusannya masing-masing. Niki pasti sedang membaca buku di perpustakaan. Sementara Arfi tengah mengisi perutnya di kantin. Telah dipersiapkannya rencana itu setelah melakukan pengamatan yang cukup lama.
Perlahan-lahan tikus itu mulai mendekati Naya. Cewek itu menggigil kedinginan karena takutnya. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Tiba-tiba otaknya terasa beku hingga tak mampu memikirkan satu solusi pun.
***
“Kenapa kelas jadi sepi begini? Ke mana perginya anak-anak, ya?”
Arfi yang baru balik dari kantin bingung melihat kelasnya yang sepi. Dia pun mencoba untuk mencari tahu jawabannya. Menyusuri koridor dan berhenti tepat di halaman sekolah. Kerumunan anak-anak yang ada di sana telah menyita perhatiannya. Dia pun mendekat. Seketika matanya terbelalak melihat Naya yang sedang ketakutan di atas pohon palm.
“Ya ampun, Nay. Apa yang kaulakukan di atas sana?”
Reflek Naya menoleh. Kuat juga telepati cowok itu. Dapat merasakan bahwa dirinya dalam kesulitan. Bukan bermaksud untuk menolak bantuan yang datang, tapi dia hanya khawatir ada udang di balik batu dari kebaikannya. Siapa pun tahu, Arfi seorang playboy yang gemar gonta-ganti cewek dan pandai bersiasat. Barangkali cowok itu sedang menjadikannya sebagai target korban selanjutnya.
“Cepat turun, Nay!” paksa Arfi.
“Takut …!” Naya tak berani melompat ke bawah. Jaraknya yang tinggi telah membuatnya ngeri. Tapi Arfi terus memaksanya turun.
“Cepat turun, Nay! Nanti aku akan menangkapmu dari sini.”
“Bagaimana jika kamu tak berhasil menangkapku?” Naya merasa ragu.
“Percayalah aku pasti bisa menangkapmu.”
Erga kesal. Lagi-lagi playboy cap teri itu datang untuk menolong Naya. Cowok itu pasti tengah berjuang keras untuk mencari-cari perhatian guna menaklukkannya. Tak tahu mengapa selera Arfi jadi berubah. Naksir cewek biasa. Kalau dijadikan pacar masih mending. Paling-paling hanya dipermainkan sebagai kelinci percobaan. Parahnya lagi, Naya merespon positif cowok itu.
Naya bersiap-siap melompat setelah diyakinkan oleh Arfi. Keinginan itu semakin kuat ketika tikus itu tinggal sejengkal lagi dari tempatnya berada. Namun tiba-tiba … dia terpeleset. Meluncur ke bawah dengan cepat.
“Aaa …!”
Arfi panik. Dengan gesit dia berusaha menangkap tubuh Naya. Namun sayang, hasilnya tak semanis apa yang diharapkan. Cewek itu jatuh menimpa dirinya. Duh, rasanya seperti ditindih gajah saja! Beratnya minta ampun.
Erga mendengus kesal. Dia merasa sebal dengan adegan sok mesra itu. Kekesalannya semakin menumpuk-numpuk ketika Naya tak jua bangun. Tampaknya cewek itu begitu menikmatinya.
Naya merasa ada yang aneh dengan pendaratannya. Harusnya kan tubuhnya remuk bagai dibanting-banting di atas karang yang tajam. Lha sekarang, kok terasa seperti berada di atas kasur yang empuk, ya?
“Bisakah kamu turun sekarang, Nay? Aku sudah tak kuat lagi,” ujar Arfi meminta pengertian. Dia tak keberatan menolong. Tapi kalau terlalu lama, bisa mencelakakan dirinya. Dadanya sudah mulai terasa sesak. Susah sekali untuk bernafas.
Naya tersadar. Dia buru-buru bangun. Memberikan kelonggaran kepada Arfi agar dapat menghirup udara segar kembali.
“Makasih atas bantuanmu, Fi.”
“Iya, sama-sama.”
Setelah mengucapkan rasa terima kasih, Naya mengomeli Erga.
“Dasar cowok rese kurang kerjaan! Suatu hari nanti aku pasti akan membalasmu.”
Erga yang masih merasa kecewa karena rencananya gagal total menyahut kesal, “Alah, cewek selemah kamu mana bisa membalasku!”
Sialan benar sih cowok yang satu ini! Kerjaannya cuma bikin emosi saja, geram Naya di dalam hati. Kasihan sekali orangtua yang telah melahirkan anak sebengal dirinya. Harusnya dia dibuang saja ke laut biar dimakan ikan Hiu.
“Janganlah bersikap begitu, Ga! Nay tak punya salah apa-apa padamu, mengapa diganggu? Kasihan dia!” nasehat Arfi yang merasa prihatin dengan nasib Naya.
Naya terharu oleh kata-kata Arfi. Tak disangka cowok itu mau membelanya di depan khalayak umum. Ternyata dia baik hati juga. Tak seperti Erga yang memperlakukannya semena-mena.
“Jangan sok jadi pahlawan deh!” Bukannya menyadari kesalahan, Erga malah mengata-ngatai cowok itu.
Arfi menjaga emosinya agar tetap stabil. Tak terpancing oleh kata-kata sinis Erga. Hanya tertinggal satu pertanyaan di dalam dadanya. Alasan apakah yang melatar belakangi hobi aneh Erga? Orang iseng memang ada di mana-mana, tapi dia tak menjumpai korbannya hanya seorang saja. Kenapa harus Naya? Padahal cewek itu tak pernah membuat gara-gara dengan siapa pun.
“Aku hanya ingin menolong teman saja. Tak ada niat untuk dikenang sebagai pahlawan.”
“Benarkah?” Erga tersenyum sinis. “ Aku tak percaya kalau kamu tak memiliki motif yang lain.” Mana mungkinlah cowok seperti Arfi menolong cewek tanpa mengharapkan imbalan apa-apa. Sama nggak mungkinnya seperti seorang maling yang tertangkap tangan membawa barang curian mau mengakui kejahatannya. 
“Terserah deh kamu mau bilang apa,” sahut Arfi. Tak ada gunanya berdebat lagi. Tugasnya untuk menolong Naya telah usai, maka dia putuskan untuk kembali ke kelas. “Yuk kita ke kelas, Nay!”
“Iya. Tinggalkan saja cowok rese ini! Percuma saja buang-buang waktu dengannya,” jawab Naya. Dia pun menjajari langkah Arfi. Sesekali mengobrol santai dengan cowok itu di perjalanan. Meninggalkan Erga dengan segunung kekesalannya.
“Mengapa Erga selalu mengerjaiku? Apa karena aku ini cewek lemah yang tak berguna?” tanya Naya lirih.
“Itu nggak benar, Nay. Kamu bukan cewek seperti itu,” jawab Arfi menepiskan pikiran negatif Naya.
Sementara di tempat yang lain …
“Lagi-lagi gagal! Kenapa si playboy cap teri itu tiba-tiba muncul? Menyebalkan!” Erga mengomel-ngomel tak karuan. Emosinya meletup-letup seperti air yang sedang mendidih.
***
Pelajaran akan segera dimulai. Anak-anak kelas IX IPA telah menempati tempat duduk mereka. Di antara mereka terlihat Della, sahabat baiknya Naya tengah kebingungan. Dia heran karena Naya hanya meninggalkan tasnya di dalam kelas. Lalu ke mana perginya cewek itu?
Dia tersenyum lega kala melihat Naya datang dengan di dampingi oleh Arfi. Mereka berdua berpisah menuju bangku masing-masing.
“Kamu ke mana saja, Nay?”
Naya yang barusan tiba, langsung dihujani pertanyaan oleh Della.
“Aku dari halaman sekolah. Erga …”
“Dia mengerjaimu lagi?” potong Della seolah mengetahui arah pembicaraannya. Amarahnya meledak ketika mendengar jawaban sahabatnya.
“Iya.”
“Keterlaluan sekali cowok itu,” Della mengepalkan tangan. Tak terima sahabatnya dipermainkan oleh Erga. Tika dilihatnya sosok Erga muncul di kelas, mau dilabraknya habis-habisan. Tapi sayang, Naya buru-buru melarangnya.
“Ini urusan di antara kami berdua, Del. Biar aku saja yang akan membereskannya.”
Della tersenyum. Naya memang selalu tak mau merepotkan sahabatnya. Meskipun telah dikerjai habis-habisan, tetap saja menolak bantuan sahabatnya itu. Beruntung Tuhan selalu memberikan pertolongan melalui tangan Arfi dan Niki.
“Siapa yang menyelamatkanmu kali ini?”
Naya menunjuk ke arah Arfi yang masih bercakap-cakap dengan teman sebangkunya.
“Apa kamu tak tertarik untuk mengajaknya jalan, Nay? Hitung-hitung sebagai ucapan terima kasihlah,” bisiknya.
Naya mengernyitkan alisnya. Bukannya selama ini Della yang paling getol menyuruh untuk menjauhinya. Kenapa pikirannya jadi berubah sedrastis itu, ya? Mungkinkah prasangka buruknya terhadap cowok itu telah sirna?
“Aku hanya memintamu jalan dengannya. Bukan jadian dengan playboy cap teri itu,” terang Della.
“Oo, begitu rupanya. Kupikir kamu tak lagi mempermasalahkan soal statusnya lagi.”
“Kalau kalian hanya berteman, tak masalah. Tapi kalau menuju hubungan yang lebih intim lagi, nanti dululah,” tukas Della.
Naya tersenyum tipis.
“Nantilah akan kutanyakan dulu. Takutnya dia tak punya waktu. Tahu sendiri kan ceweknya banyak.”
“Terserah kamu sajalah,” sahut Della.
Naya dan Della menghentikan obrolan ketika Pak Herman, guru matematika mereka memasuki ruangan kelas. Mereka pun memperhatikan pelajaran dengan sungguh-sungguh.
Selama pelajaran berlangsung, Erga tidak banyak berulah. Setelah bel istirahat berbunyi dia kembali melakukan aksi. Menghampiri Naya yang sedang berbincang-bincang dengan Arfi di kantin. Dan mencuri dengar pembicaraan mereka.
“Apa nanti malam kamu ada waktu, Fi?”
Arfi menghentikan suapan bakso ke dalam mulutnya. Tumben-tumbennya Naya menanyakan hal itu. Kenapa dengannya, ya?
Ada. Memangnya kenapa?”
“Aku mau mengajakmu jalan ke mall malam ini,” jawab Naya seraya memasukkan bakso ke mulutnya.
Arfi tersentak. Biasanya kan Naya selalu mengelak kalau mau diajak dinner atau sekedar jalan ke mall olehnya. Apalagi alasannya kalau bukan gara-gara malu jalan sama cowok playboy. Takut kena imbasnya.
“Apa aku tak salah dengar nih?” Arfi memastikan keseriusannya.
“Kamu tak salah dengar kok. Anggap saja itu sebagai wujud terima kasih atas bantuanmu selama ini,” sahut Naya.
Arfi senang mendengarnya. Maklum saja dia merasa demikian karena Naya selalu menjaga jarak dengannya. Tak seperti cewek-cewek lainnya.
Erga yang menyimak pembicaraan itu menggerutu. Tapi sayang, tak ada yang mau mendengarkannya sebab gerutuan itu hanya tersimpan rapi di hatinya.
Centil sekali! Masa cewek ngajakin jalan cowok sih. Mana cowoknya playboy. Malu-maluin!
“Baiklah, nanti malam aku akan menjemputmu,” seru Arfi masih menyungging senyum manisnya.
“Oke, aku tunggu kedatanganmu.”
Hm … kayaknya Erga mesti memberi Naya pelajaran biar tidak kecentilan lagi. Tak ada yang peduli apa yang akan dilakukannya kecuali Della yang terus memperhatikan gerak-geriknya. Tanpa disadari Naya, Erga pun mendekati Naya dan berhasil mendaratkan sebuah ciuman di pipi Naya. Kontan semua orang yang ada di sana tercengang. Tak percaya Erga dapat berbuat senekat itu. Apa cowok itu sudah gila?
Erga tak peduli dengan tanggapan penghuni kantin yang ada di sekitarnya. Dia melarikan diri sebelum Naya meluapkan amarahnya.
“Aaa … cowok rese!” Maki Naya seraya bangkit dari tempat duduknya.
“Mau ke mana kamu, Nay?”
“Memberi pelajaran pada cowok kurang ajar itu,” sahut Naya menanggapi pertanyaan dari Arfi.
“Tak usahlah kamu meladeninya,” sergah Arfi. Tapi Naya tak mengindahkannya.
“Tak bisa begitu, Fi. Cowok itu akan semakin melonjak kalau didiamkan saja.”
Arfi tak bisa mencegah kepergian Naya. 
Naya mengejar Erga yang berlari menuju ruang perpustakaan. Dia melempar cowok itu dengan sepatu kets kesayangannya. Nyaris saja sepatu itu hampir mengenai Erga bila dia tak mengelak dengan cepat.
Erga terpingkal-pingkal. Tawanya semakin keras ketika sepatu itu mengenai cowok yang ada di belakangnya. Cowok yang tak lain adalah Niki, salah satu dewa penolong Naya sekaligus menjadi pangeran pujaan hatinya.
Ups! Sial! Naya keki setengah mati. Mengapa Niki yang malah jadi korbannya sih? Dia makin tak enak hati ketika cowok itu mengaduh kesakitan. Hancur deh mimpinya untuk bisa mendapatkan cinta cowok itu. Semua gara-gara Erga!
“Maaf Nik, aku tak sengaja. Kamu baik-baik saja, kan?”
Naya? Kenapa dia melempar sepatu? Pasti karena dijahili oleh Erga. Cowok yang kini berada di sampingnya. Apa yang dilakukan cowok itu sampai Naya semurka itu?
“Iya, aku maafin. Hanya nyeri sedikit. Sebentar lagi rasa sakitnya pasti reda kok,” sahut Niki.
Naya senang mendengarnya. Terlebih lagi cowok yang selalu menampakkan wajahnya yang dingin itu terlihat lebih santai dari hari biasanya. Coba kalau bibirnya ditarik ke samping dua senti, pasti terlihat manis sekali. Sayangnya Niki susah sekali untuk tersenyum.
“Harusnya kamu memarahinya, Nik. Masa cowok sekeren kamu dilempar pakai sepatu,” seru Erga memanas-manasi. Dia memanfaatkan momen itu untuk merusak hubungan di antara mereka berdua.
“Diam kau cowok rese! Harusnya kusumpal saja mulutmu yang bawel itu dengan sepatu,” sengak Naya.
“Mending bawel daripada kamu yang kecentilan,” Erga balas meledek.
“Kamu memang gila! Seenaknya saja mengatai orang,” gigi Naya gemeratuk menahan amarah yang meledak-ledak.
Niki menggeleng pelan menyaksikan perang mulut di antara Naya dan Erga. Pemandangan itu sudah bukan menjadi hal yang langka baginya.
“Ngaku saja deh, Nay! Malu ya menyandang status jomblo melulu? Makanya kamu ingin menggoda Arfi biar mau jadian denganmu, kan?”
Naya yang tak tahan mendengar ocehan Erga segera melayangkan tinjunya. Memukul perut cowok itu dengan sekuat tenaga. Dia tersenyum puas melihat cowok itu meringis kesakitan.
“Itu balasan buat cowok rese macam kamu,” hujam Naya seraya berlalu meninggalkan Erga dan Niki.
Niki tersenyum geli.
“Kuat juga tenaganya,” keluh Erga.
“Makanya lain kali jangan membuat gara-gara lagi.”
Erga tersenyum kecut.
“Mengapa kamu senang sekali menggoda Nay, Ga? Jatuh cinta padanya, ya?” tebak Niki.
“Aku jatuh cinta padanya?” Erga tersenyum sinis. “Tak mungkinlah,” elaknya cepat.
Tak mungkin bagaimana? Dari sinar matamu saja sudah kelihatan. Mengapa harus membohongi diri sendiri jika rasa itu memang ada? Niki sangat menyayangkan tindakan Erga yang tak pernah mau jujur mengakui perasaannya.

Komentar