“Tikus …!” jerit
Naya ketakutan.
Erga tertawa
terpingkal-pingkal saat berhasil menakut-nakuti Naya dengan seekor tikus putih.
Naya mendengus
kesal. Ingin ditinjunya perut cowok itu agar berhenti tertawa untuk selamanya.
Tak bosan-bosannya makhluk menyebalkan itu selalu mengganggunya. Menjadikannya
sebagai bulan-bulanan setiap hari.
“Si Manis mau
kenalan sama kamu nih, Nay!” goda Erga seraya melemparkan tikus itu ke meja
Naya.
“Hi …!” Naya
meloncat dari kursi, lalu kabur keluar kelas. Tapi dasar apes, Erga terus
membuntutinya seraya mengacung-acungkan tikus yang dibawanya.
“Aaa …!”
Naya berlari
kencang menuju halaman sekolah. Lalu memanjat salah satu dari pohon palm yang
ada di sana .
Dia tak peduli dengan hujan tawa dari teman-teman dan adik kelasnya yang telah
berkerumun untuk menyaksikan adegan lucu itu.
“Turun dong,
Nay! Si Manis sudah tak sabar menanti pelukanmu.” Asli, Erga mau ngakak
sejadi-jadinya melihat muka Naya yang pucat pasi kayak kambing yang mau
disembelih.
Naya manyun.
Dibayar semilyar pun, dia takkan sudi melakukannya. Huh, mimpi apa semalam
sampai harus bertingkah seperti Tarzan segala! Adakah seseorang yang berkenan
untuk menyelamatkannya dari mimpi buruk itu? Ah, seandainya dia seperti Airin,
pasti anak-anak cowok sudah berbondong-bondong untuk menolongnya. Tapi apalah
daya. Dia hanya cewek biasa dengan muka dan otak yang pas-pasan pula. Jangankan
ditaksir, nggak dikerjai saja, sudah alhamdulillah. Nasib, oh nasib …!
“Idih, amit-amit
deh!” kata Naya nyinyir.
“Ya sudah. Kalau
begitu, biar si Manis saja yang menemuimu,” Erga terkikik seraya menaruh tikus
itu di pohon tersebut.
“Dasar gila!” geram
Naya. Teganya Erga berbuat sekejam itu. Apa cowok itu sengaja ingin membuatnya
mati ketakutan? Memangnya kesalahan apa yang telah diperbuatnya selama ini?
Benar-benar tuh cowok nggak punya perasaan!
Erga terkekeh.
Merekahkan senyum kemenangannya. Takkan ada cowok yang akan membantu Naya kali
ini. Kedua cowok yang setia jadi bodyguardnya tengah sibuk dengan
urusannya masing-masing. Niki pasti sedang membaca buku di perpustakaan.
Sementara Arfi tengah mengisi perutnya di kantin. Telah dipersiapkannya rencana
itu setelah melakukan pengamatan yang cukup lama.
Perlahan-lahan
tikus itu mulai mendekati Naya. Cewek itu menggigil kedinginan karena takutnya.
Apa yang harus dilakukannya sekarang? Tiba-tiba otaknya terasa beku hingga tak
mampu memikirkan satu solusi pun.
***
“Kenapa kelas
jadi sepi begini? Ke mana perginya anak-anak, ya?”
Arfi yang baru
balik dari kantin bingung melihat kelasnya yang sepi. Dia pun mencoba untuk
mencari tahu jawabannya. Menyusuri koridor dan berhenti tepat di halaman sekolah.
Kerumunan anak-anak yang ada di sana
telah menyita perhatiannya. Dia pun mendekat. Seketika matanya terbelalak
melihat Naya yang sedang ketakutan di atas pohon palm.
“Ya ampun, Nay.
Apa yang kaulakukan di atas sana ?”
Reflek Naya
menoleh. Kuat juga telepati cowok itu. Dapat merasakan bahwa dirinya dalam
kesulitan. Bukan bermaksud untuk menolak bantuan yang datang, tapi dia hanya
khawatir ada udang di balik batu dari kebaikannya. Siapa pun tahu, Arfi seorang
playboy yang gemar gonta-ganti cewek
dan pandai bersiasat. Barangkali cowok itu sedang menjadikannya sebagai target
korban selanjutnya.
“Cepat turun,
Nay!” paksa Arfi.
“Takut …!” Naya
tak berani melompat ke bawah. Jaraknya yang tinggi telah membuatnya ngeri. Tapi
Arfi terus memaksanya turun.
“Cepat turun,
Nay! Nanti aku akan menangkapmu dari sini.”
“Bagaimana jika
kamu tak berhasil menangkapku?” Naya merasa ragu.
“Percayalah aku
pasti bisa menangkapmu.”
Erga kesal.
Lagi-lagi playboy cap teri itu datang
untuk menolong Naya. Cowok itu pasti tengah berjuang keras untuk mencari-cari
perhatian guna menaklukkannya. Tak tahu mengapa selera Arfi jadi berubah.
Naksir cewek biasa. Kalau dijadikan pacar masih mending. Paling-paling hanya
dipermainkan sebagai kelinci percobaan. Parahnya lagi, Naya merespon positif
cowok itu.
Naya
bersiap-siap melompat setelah diyakinkan oleh Arfi. Keinginan itu semakin kuat
ketika tikus itu tinggal sejengkal lagi dari tempatnya berada. Namun tiba-tiba
… dia terpeleset. Meluncur ke bawah dengan cepat.
“Aaa …!”
Arfi panik.
Dengan gesit dia berusaha menangkap tubuh Naya. Namun sayang, hasilnya tak
semanis apa yang diharapkan. Cewek itu jatuh menimpa dirinya. Duh, rasanya
seperti ditindih gajah saja! Beratnya minta ampun.
Erga mendengus
kesal. Dia merasa sebal dengan adegan sok mesra itu. Kekesalannya semakin
menumpuk-numpuk ketika Naya tak jua bangun. Tampaknya cewek itu begitu
menikmatinya.
Naya merasa ada
yang aneh dengan pendaratannya. Harusnya kan
tubuhnya remuk bagai dibanting-banting di atas karang yang tajam. Lha sekarang,
kok terasa seperti berada di atas kasur yang empuk, ya?
“Bisakah kamu
turun sekarang, Nay? Aku sudah tak kuat lagi,” ujar Arfi meminta pengertian.
Dia tak keberatan menolong. Tapi kalau terlalu lama, bisa mencelakakan dirinya.
Dadanya sudah mulai terasa sesak. Susah sekali
untuk bernafas.
Naya tersadar.
Dia buru-buru bangun. Memberikan kelonggaran kepada Arfi agar dapat menghirup
udara segar kembali.
“Makasih atas
bantuanmu, Fi.”
“Iya,
sama-sama.”
Setelah
mengucapkan rasa terima kasih, Naya mengomeli Erga.
“Dasar cowok
rese kurang kerjaan! Suatu hari nanti aku pasti akan membalasmu.”
Erga yang masih
merasa kecewa karena rencananya gagal total menyahut kesal, “Alah, cewek
selemah kamu mana bisa membalasku!”
Sialan benar sih cowok yang satu ini!
Kerjaannya cuma bikin emosi saja, geram Naya di dalam hati. Kasihan sekali orangtua
yang telah melahirkan anak sebengal dirinya. Harusnya dia dibuang saja ke laut
biar dimakan ikan Hiu.
“Janganlah
bersikap begitu, Ga! Nay tak punya salah apa-apa padamu, mengapa diganggu? Kasihan
dia!” nasehat Arfi yang merasa prihatin dengan nasib Naya.
Naya terharu
oleh kata-kata Arfi. Tak disangka cowok itu mau membelanya di depan khalayak
umum. Ternyata dia baik hati juga. Tak seperti Erga yang memperlakukannya
semena-mena.
“Jangan sok jadi
pahlawan deh!” Bukannya menyadari kesalahan, Erga malah mengata-ngatai cowok
itu.
Arfi menjaga
emosinya agar tetap stabil. Tak terpancing oleh kata-kata sinis Erga. Hanya
tertinggal satu pertanyaan di dalam dadanya. Alasan apakah yang melatar
belakangi hobi aneh Erga? Orang iseng memang ada di mana-mana, tapi dia tak
menjumpai korbannya hanya seorang saja. Kenapa harus Naya? Padahal cewek itu
tak pernah membuat gara-gara dengan siapa pun.
“Aku hanya ingin
menolong teman saja. Tak ada niat untuk dikenang sebagai pahlawan.”
“Benarkah?” Erga
tersenyum sinis. “ Aku tak percaya kalau kamu tak memiliki motif yang lain.”
Mana mungkinlah cowok seperti Arfi menolong cewek tanpa mengharapkan imbalan
apa-apa. Sama nggak mungkinnya seperti seorang maling yang tertangkap tangan
membawa barang curian mau mengakui kejahatannya.
“Terserah deh
kamu mau bilang apa,” sahut Arfi. Tak ada gunanya berdebat lagi. Tugasnya untuk
menolong Naya telah usai, maka dia putuskan untuk kembali ke kelas. “Yuk kita
ke kelas, Nay!”
“Iya. Tinggalkan
saja cowok rese ini! Percuma saja buang-buang waktu dengannya,” jawab Naya. Dia
pun menjajari langkah Arfi. Sesekali mengobrol santai dengan cowok itu di
perjalanan. Meninggalkan Erga dengan segunung kekesalannya.
“Mengapa Erga
selalu mengerjaiku? Apa karena aku ini cewek lemah yang tak berguna?” tanya
Naya lirih.
“Itu nggak
benar, Nay. Kamu bukan cewek seperti itu,” jawab Arfi menepiskan pikiran
negatif Naya.
Sementara di
tempat yang lain …
“Lagi-lagi
gagal! Kenapa si playboy cap teri itu
tiba-tiba muncul? Menyebalkan!” Erga mengomel-ngomel tak karuan. Emosinya
meletup-letup seperti air yang sedang mendidih.
***
Pelajaran akan
segera dimulai. Anak-anak kelas IX IPA telah menempati tempat duduk mereka. Di
antara mereka terlihat Della, sahabat baiknya Naya tengah kebingungan. Dia
heran karena Naya hanya meninggalkan tasnya di dalam kelas. Lalu ke mana
perginya cewek itu?
Dia tersenyum
lega kala melihat Naya datang dengan di dampingi oleh Arfi. Mereka berdua
berpisah menuju bangku masing-masing.
“Kamu ke mana
saja, Nay?”
Naya yang
barusan tiba, langsung dihujani pertanyaan oleh Della.
“Aku dari
halaman sekolah. Erga …”
“Dia mengerjaimu
lagi?” potong Della seolah mengetahui arah pembicaraannya. Amarahnya meledak
ketika mendengar jawaban sahabatnya.
“Iya.”
“Keterlaluan
sekali cowok itu,” Della mengepalkan tangan. Tak terima sahabatnya dipermainkan
oleh Erga. Tika dilihatnya sosok Erga muncul di kelas, mau dilabraknya
habis-habisan. Tapi sayang, Naya buru-buru melarangnya.
“Ini urusan di
antara kami berdua, Del. Biar aku saja yang akan membereskannya.”
Della tersenyum.
Naya memang selalu tak mau merepotkan sahabatnya. Meskipun telah dikerjai
habis-habisan, tetap saja menolak bantuan sahabatnya itu. Beruntung Tuhan
selalu memberikan pertolongan melalui tangan Arfi dan Niki.
“Siapa yang
menyelamatkanmu kali ini?”
Naya menunjuk ke
arah Arfi yang masih bercakap-cakap dengan teman sebangkunya.
“Apa kamu tak
tertarik untuk mengajaknya jalan, Nay? Hitung-hitung sebagai ucapan terima
kasihlah,” bisiknya.
Naya mengernyitkan
alisnya. Bukannya selama ini Della yang paling getol menyuruh untuk
menjauhinya. Kenapa pikirannya jadi berubah sedrastis itu, ya? Mungkinkah
prasangka buruknya terhadap cowok itu telah sirna?
“Aku hanya
memintamu jalan dengannya. Bukan jadian dengan playboy cap teri itu,” terang Della.
“Oo, begitu
rupanya. Kupikir kamu tak lagi mempermasalahkan soal statusnya lagi.”
“Kalau kalian
hanya berteman, tak masalah. Tapi kalau menuju hubungan yang lebih intim lagi,
nanti dululah,” tukas Della.
Naya tersenyum
tipis.
“Nantilah akan
kutanyakan dulu. Takutnya dia tak punya waktu. Tahu sendiri kan ceweknya banyak.”
“Terserah kamu
sajalah,” sahut Della.
Naya dan Della
menghentikan obrolan ketika Pak Herman, guru matematika mereka memasuki ruangan
kelas. Mereka pun memperhatikan pelajaran dengan sungguh-sungguh.
Selama pelajaran
berlangsung, Erga tidak banyak berulah. Setelah bel istirahat berbunyi dia
kembali melakukan aksi. Menghampiri Naya yang sedang berbincang-bincang dengan
Arfi di kantin. Dan mencuri dengar pembicaraan mereka.
“Apa nanti malam
kamu ada waktu, Fi?”
Arfi
menghentikan suapan bakso ke dalam mulutnya. Tumben-tumbennya Naya menanyakan
hal itu. Kenapa dengannya, ya?
“Ada . Memangnya kenapa?”
“Aku mau
mengajakmu jalan ke mall malam ini,” jawab Naya seraya memasukkan bakso ke
mulutnya.
Arfi tersentak.
Biasanya kan
Naya selalu mengelak kalau mau diajak dinner atau sekedar jalan ke mall
olehnya. Apalagi alasannya kalau bukan gara-gara malu jalan sama cowok playboy. Takut kena imbasnya.
“Apa aku tak salah
dengar nih?” Arfi memastikan keseriusannya.
“Kamu tak salah
dengar kok. Anggap saja itu sebagai wujud terima kasih atas bantuanmu selama
ini,” sahut Naya.
Arfi senang
mendengarnya. Maklum saja dia merasa demikian karena Naya selalu menjaga jarak
dengannya. Tak seperti cewek-cewek lainnya.
Erga yang
menyimak pembicaraan itu menggerutu. Tapi sayang, tak ada yang mau
mendengarkannya sebab gerutuan itu hanya tersimpan rapi di hatinya.
Centil sekali! Masa cewek ngajakin jalan
cowok sih. Mana cowoknya playboy. Malu-maluin!
“Baiklah, nanti
malam aku akan menjemputmu,” seru Arfi masih menyungging senyum manisnya.
“Oke, aku tunggu
kedatanganmu.”
Hm … kayaknya
Erga mesti memberi Naya pelajaran biar tidak kecentilan lagi. Tak ada yang
peduli apa yang akan dilakukannya kecuali Della yang terus memperhatikan
gerak-geriknya. Tanpa disadari Naya, Erga pun mendekati Naya dan berhasil
mendaratkan sebuah ciuman di pipi Naya. Kontan semua orang yang ada di sana tercengang. Tak
percaya Erga dapat berbuat senekat itu. Apa cowok itu sudah gila?
Erga tak peduli
dengan tanggapan penghuni kantin yang ada di sekitarnya. Dia melarikan diri
sebelum Naya meluapkan amarahnya.
“Aaa … cowok
rese!” Maki Naya seraya bangkit dari tempat duduknya.
“Mau ke mana
kamu, Nay?”
“Memberi
pelajaran pada cowok kurang ajar itu,” sahut Naya menanggapi pertanyaan dari
Arfi.
“Tak usahlah
kamu meladeninya,” sergah Arfi. Tapi Naya tak mengindahkannya.
“Tak bisa
begitu, Fi. Cowok itu akan semakin melonjak kalau didiamkan saja.”
Arfi tak bisa
mencegah kepergian Naya.
Naya mengejar
Erga yang berlari menuju ruang perpustakaan. Dia melempar cowok itu dengan
sepatu kets kesayangannya. Nyaris saja sepatu itu hampir mengenai Erga bila dia
tak mengelak dengan cepat.
Erga
terpingkal-pingkal. Tawanya semakin keras ketika sepatu itu mengenai cowok yang
ada di belakangnya. Cowok yang tak lain adalah Niki, salah satu dewa penolong
Naya sekaligus menjadi pangeran pujaan hatinya.
Ups! Sial! Naya
keki setengah mati. Mengapa Niki yang malah jadi korbannya sih? Dia makin tak enak
hati ketika cowok itu mengaduh kesakitan. Hancur deh mimpinya untuk bisa
mendapatkan cinta cowok itu. Semua gara-gara Erga!
“Maaf Nik, aku
tak sengaja. Kamu baik-baik saja, kan ?”
Naya? Kenapa dia
melempar sepatu? Pasti karena dijahili oleh Erga. Cowok yang kini berada di
sampingnya. Apa yang dilakukan cowok itu sampai Naya semurka itu?
“Iya, aku
maafin. Hanya nyeri sedikit. Sebentar lagi rasa sakitnya pasti reda kok,” sahut
Niki.
Naya senang
mendengarnya. Terlebih lagi cowok yang selalu menampakkan wajahnya yang dingin
itu terlihat lebih santai dari hari biasanya. Coba kalau bibirnya ditarik ke
samping dua senti, pasti terlihat manis sekali. Sayangnya Niki susah sekali
untuk tersenyum.
“Harusnya kamu
memarahinya, Nik. Masa cowok sekeren kamu dilempar pakai sepatu,” seru Erga
memanas-manasi. Dia memanfaatkan momen itu untuk merusak hubungan di antara
mereka berdua.
“Diam kau cowok
rese! Harusnya kusumpal saja mulutmu yang bawel itu dengan sepatu,” sengak
Naya.
“Mending bawel
daripada kamu yang kecentilan,” Erga balas meledek.
“Kamu memang
gila! Seenaknya saja mengatai orang,” gigi Naya gemeratuk menahan amarah yang
meledak-ledak.
Niki menggeleng
pelan menyaksikan perang mulut di antara Naya dan Erga. Pemandangan itu sudah
bukan menjadi hal yang langka baginya.
“Ngaku saja deh,
Nay! Malu ya menyandang status jomblo melulu? Makanya kamu ingin menggoda Arfi
biar mau jadian denganmu, kan ?”
Naya yang tak
tahan mendengar ocehan Erga segera melayangkan tinjunya. Memukul perut cowok
itu dengan sekuat tenaga. Dia tersenyum puas melihat cowok itu meringis
kesakitan.
“Itu balasan
buat cowok rese macam kamu,” hujam Naya seraya berlalu meninggalkan Erga dan
Niki.
Niki tersenyum
geli.
“Kuat juga
tenaganya,” keluh Erga.
“Makanya lain
kali jangan membuat gara-gara lagi.”
Erga tersenyum
kecut.
“Mengapa kamu
senang sekali menggoda Nay, Ga? Jatuh cinta padanya, ya?” tebak Niki.
“Aku jatuh cinta
padanya?” Erga tersenyum sinis. “Tak mungkinlah,” elaknya cepat.
Tak mungkin bagaimana? Dari sinar matamu saja sudah
kelihatan. Mengapa harus membohongi diri sendiri jika rasa itu memang ada? Niki
sangat menyayangkan tindakan Erga yang tak pernah mau jujur mengakui
perasaannya.
Komentar
Posting Komentar