Dawai Cinta dan Persahabatan part 13


Gempa yang Mengguncang Pelangi
Ryan akhirnya mengutarakan isi hatinya pada Linda. Tampaknya dia sudah bosan mencari-cari jawaban sendiri. Ya, daripada terus dihantui rasa khawatir lebih baik dia mengatakannya secara terus terang pada cewek itu. Siapa tahu Linda akan menjawab yang sejujurnya.
“Apa kamu lagi sakit, Put? Kalau iya, lebih baik beristirahat dulu di rumah. Jangan terlalu memaksakan diri!”
Linda sangat terkejut mendengarnya. Dari mana Ryan tahu kalau dia sakit. Ya ampun… dia baru sadar mengapa cowok itu terus mengawasinya sedari tadi. Kenapa dia bisa seceroboh itu menunjukkan kondisi kesehatannya pada orang yang gemar sekali beradu kekuatan dengan orang lain. Jelaslah beda antara kecapean karena pertarungan secara murni dan yang disertai oleh penyakit yang telah menggerogoti tubuhnya.
“Aku baik-baik aja kok,” pungkir Linda. Dia pun berdiri tegak untuk menyakinkan cowok itu yang diikuti oleh kedua sahabatnya.
“Mengapa kamu terlihat sangat kepayahan sekali? Mana wajahmu juga ikut pucat pula. Kamu boong kan?” kejar Ryan, tapi lagi-lagi Linda memberikan jawaban yang dibuat-buat.
“Kamu yang salah lihat kali. Orang aku baik-baik aja kok. Aku heran mengapa kamu begitu peduli padaku. Jangan-jangan ada udang dibalik batu ya?”
“Kamu bawaannya kok jadi curigaan mulu sih! Aku cuma nggak mau kamu kenapa-napa. Tau deh, mengapa tiba-tiba perasaanku jadi nggak enak,” jelas Ryan.
“Wajar lagi kalau aku curiga padamu. Aku kan nggak tahu apa yang ada di dalam hatimu. Ya kecuali kalau kamu bisa membuktikan padaku dengan tidak mengusili orang lain selama satu bulan saja. Baru deh aku bisa percayai kata-katamu!”
“Sehari nggak mengusili orang, hampa sekali rasanya. Apalagi sebulan? Gak kebayang deh gimana rasanya.  Ganti yang lain aja ya, Put?!” tawarnya.
Linda menggeleng kuat, lalu berujar padanya.
“Semua itu kan demi kebaikanmu juga.”
Ryan terlihat kecewa sekali mendengarnya.
“Kurasa apa yang dia katakan itu benar, Ray,” Andre turut memberikan komentarnya yang membuat Ryan makin kecewa lantaran sahabatnya lebih memihak cewek itu.
“Kamu sohib aku atau dia sih?!”
“Biar petir membelah angkasa, hujan menuruni bumi, badai memecahkan lautan dan gempa mengguncang seisi bumi, aku tetap sohibmu!” kata Andre menyakinkan. Dia berharap dengan kata-kata itu Ryan tidak meragukan lagi tali persahabatan yang telah mereka bina bersama karena itulah anugerah terindah di dalam hidupnya.
Tanpa terduga tiba-tiba saja langit perlahan-lahan mulai menghitam seiring dengan suara petir yang menggelegar berulang-ulang.
“Kamu nggak setia kawan kan, Dre? Petir aja marah sama kamu, apalagi aku?!” Ryan terpingkal-terpingkal.
Andre terlihat sewot sekali.
“Dasar petirnya aja yang kurang kerjaan!”
Awan yang semula menggumpal di udara perlahan-lahan turun membasahi bumi.
“Hujannya juga marah sama kamu tuh!” Ryan makin terpingkal-pingkal bisa mengerjai sahabatnya itu.
“Ah, paling-paling cuma kebetulan saja,” terkanya yang bikin semua orang terpingkal-pingkal.
“Kenapa tubuhku kok jadi sempoyongan gini ya?” tanya Ryan heran.
“Ray…”
Ryan melihat kearah Lya yang tiba-tiba terlihat sangat pucat pasi. Dia pun makin bingung saja. Apa yang telah terjadi?
“Wajahmu kok pucat, Lya?”
“Gempa…!”
“Waaa…!”
“Aaaa…!”
Mereka menjerit-jerit histeris. Buku-buku berterbangan di mana-mana. Kursi-kursi yang mereka duduki mulai bergerak sesuka hati seiring dengan wajah mereka yang pucat pasi.
“Turun kalian dari tempat masing-masing! Cepat kemari!” perintah Ryan. Dia lalu mencari info tentang gempa itu melalui jam tangannya yang multi fungsi. Ya, jam tangan itu telah dia desain sendiri lengkap dengan fitur-fitur yang paling mutakhir saat ini. Dia pun merasa sedikit lega tika mendapati bahwa letak gempa itu jauh sekali dari kampusnya. Mereka hanya terkena getarannya saja.
“Aaaa…!”
“Gdubrak…!”
Mereka berebutan untuk mencari tempat yang aman sehingga banyak di antara mereka yang bertubrukan dengan teman-temannya karena panik.
“Aku nggak mau mati sekarang. Aku kan ingin jadi bintang!” seru Fay berkaca-kaca.  
“Jangan takut, Fay. Aku akan menjagamu!” Eki mulai berlagak jadi pahlawan di depan Fay. Pikirnya ini saat yang tepat untuk melunakkan hati cewek itu tapi dia justru mendapatkan jawaban yang sangat mengecewakan.
“Jangan mengambil kesempatan, di tengah-tengah kesempitan!” bentak Fay.
Eki mendesah pelan.
Kenapa sih kamu begitu keras kepala, Fay?!
Sedetik kemudian, Lily pun tidak mampu menahan panik. Cewek yang satu ini kalau panik malah bawaannya ingin makan melulu. Beda sekali dengan teman-temannya.
“Perutku lapar, Fay!”
“Aduh, Ly…! Jangan mikirin itu sekarang dong!” keluh Fay. “Nyawa kita dalam bahaya. Lebih baik berdo’a saja!”
“Fay…”
“Iya, deh. Nanti kalau pulang kamu boleh makan sepuas-puasnya tapi sekarang kamu berdo’a saja supaya kita bisa selamat dari bencana ini.”
“Iya,” kata Lily berseri-seri.
“Kalau aku kenapa-napa nanti, tolong bilang sama ortuku, aku akan merindukan mereka di surga,” pinta Reddy yang lagi panik jua.
“Kamu apa-apaan sih, Red!” sembur teman-temannya.
“Kamu jangan mikirin yang macam-macam, Red!” timpal Eki.
“Jadi cowok yang tegar dong!” sambung Fay yang entah dapat kabel antena darimana. Kali karena merasa satu ikatan jiwa sama Eki. Sama-sama lagi dimabuk cinta meski dia pura-pura sok jual mahal segala.
“Terang aja kamu ringan bilang gitu, Fay. Walau segenting apapun, Eki akan selalu ada di sisimu!”
“Jangan ngaco kamu! Emang kamu pikir, aku nggak bisa jaga diri apa?!” sewot Fay.
“Lain kali kamu jangan bawa-bawa namaku segala, Red!” Eki ikutan sewot lantaran cowok itu makin memperuncing jurang pemisah antara Fay dengan dirinya.
Reddy terkekeh.
“Andre sih kurang kerjaan!” sungut anak-anak Pelangi.
“Kalian jangan nyalahin aku dong! Kalau tahu bakal begini jadinya, mana aku mau!”
“Sudah-sudah jangan saling menyalahkan!” sergah pak Ihsan. Beliau tidak menginginkan situasi menjadi semakin kacau lagi.
“Makanya Dre, kalau berujar itu harus hati-hati! Jangan macam-macam. Aku ngerti, kamu hanya ingin membuktikan rasa sayangmu padaku, nggak ada maksud untuk mencelakai kami semua,” nasehat Ryan agar sahabatnya itu lebih hati-hati lagi.
Andre terdiam. Ada seberkas rasa penyesalan pada dirinya.
“Ini murni musibah kok, Dre. Nggak ada kaitannya dengan kamu.”
Kata-kata Angga itu membuat Andre merasa lega. Dia merasakan ada yang kurang tanpa adanya suara dari Fred, Frans dan teman segenknya. Dimana mereka…?
“Frans sama yang lainnya mana? Aku kok nggak dengar suara mereka?!” tanya Andre bingung.
“Mana kami tahu,” jawab mereka serentak.
***
“Dri…!” Fred menarik-narik baju Adri yang bikin cowok itu jadi kesal karenanya. Dia hanya ingin memberitahu ada pemandangan yang sangat menarik dan lucu yang telah membuat semua orang terpingkal-pingkal. 
“Apaan sih, Fred?!”
“Enak benar rasanya…”
“Enak apanya? Berdiri aja susahnya minta ampun. Mikir, mikir dong…!” omel Adri.
“Jangan ngomel melulu, Dri. Tengok dulu ke belakang!”
Spontan Adri membalikkan badan dan kontan terbelalak kala mendapati pemandangan yang ada di hadapannya. Sungguh kejutan yang tak terduga Frans berpelukan dengan cewek yang paling alergi sama dirinya. Siapa lagi kalau bukan Lya… cewek yang nggak ada habis-habisnya membuat acara kencan cowok itu jadi berantakan melulu. Ya, meski mereka berdua selalu lengket kayak perangko tapi untuk soal hobi Frans yang suka mengoleksi cewek, Lyalah yang jadi musuh utamanya.
“Ehm, waw mesranya…!” goda Fred dan Adri.
“Aku takut…!” tutur Lya yang belum menyadari siapa sebenarnya orang yang tengah dipeluknya itu malah makin mengeratkan pelukannya hingga membuat semua orang terpingkal-pingkal.
“Tenanglah, Sayang. Kamu akan baik-baik saja,” sahut Frans sembari membendung deraian tawanya yang hampir tumpah.
Lya malah cuek-cuek saja menanggapi kata-kata Frans. Dia mengira cowok itu hanya ingin melampiaskan hobinya yang suka menjahili orang pada dirinya. Tak terbersit sekalipun di dalam hatinya kalau cowok itu sedang memeluknya mesra.
“Lya, kamu…,” Alex bermaksud untuk menyadarkan cewek itu.
“Apa, Lex?” tanyanya tanpa menoleh sedikitpun jua.
“Kamu baik-baik aja?”
“Iya…,” lirihnya. “Aku agak baikan sekarang.”
“Kamu yakin?”
“Tentu saja.”
“Oh, kasih…! Bila kau ada di sampingku, seri kurasa dunia ini. Gempa yang mengguncang Pelangi ini tak ubahnya seperti ombak nan indah,” seru Adri dan Fred terpingkal-pingkal.
Lya mengerutkan dahi. Dia mencoba berpikir tentang apa maksud perkataan dari kedua cowok itu dan pada siapa kata-kata itu ditujukan. Dia merasakan suatu keanehan dari pelukan Tya yang tidak seperti biasanya. Pelukan itu amat kuat sekali hingga membuatnya agak susah bernafas. Benar, nggak sih kalau Tya yang sedang memeluk dirinya? Dia mendongakkan kepala untuk menemukan jabawannya. Alangkah terkejutnya kala dia mendapati bahwa wajah itu bukan milik Tya, melainkan… milik Frans. Serta-merta dia mendorong cowok itu sampai dia terjengkang.
“Aduh, Say. Mengapa kamu jadi kasar begitu? Bukankah kamu sendiri yang datang padaku!”
“Yang aku tuju bukan kamu tapi Tya. Kamu jahat sekali. Kamu gunakan ketidakberdayaanku untuk… untuk mencuri kesempatan itu…!”
“Tentu aja. Kapan lagi aku bisa mendapatkan kesempatan sebaik itu!” Frans tersenyum nakal.
“Frans jelek…!” teriak Lya meluapkan  amarahnya pada cowok itu.
“Cakep.”
“Jelek…!”
“Cakep.”
“Jelek, jelek, jelek…!”
Mereka terpingkal-pingkal. Setelah puas menyaksikan adegan lucu itu, mereka mengalihkan topik pembicaraan. Kali ini mereka berniat mau mengerjai Andin yang lagi sendirian.
“Mana Ray, Din? Kenapa kamu dibiarkan sendirian?” canda Fred yang sontak membuat cewek itu langsung cemberut.
“Ah, aku tahu dimana dia sekarang!” sahut Frans makin memanas-manasi hati cewek itu.
“Ke mana Frans?”
“Dia pasti ada di dekat Putri.”
“Kok kamu bisa seyakin itu sih?” tanya Alex menyidik.
“Karena dia sedang giat-giatnya mencari gebetan baru,” jawabnya sembari melirik Andin yang dibakar api cemburu. “Kamu cemburu, Din?!”
“Ngapain juga aku cemburu sama dia!” kilahnya.
“Kalian berdua memang sangat aneh. Meski kalian saling mencintai tapi nggak pernah bersatu!”
“Jika Ray bukan seorang play boy, pasti Andin sudah lama bersedia menikah dengannya,” kata Tya. “Mana ada sih cewek yang mau dimadu?!”
“Kalau cinta, ya harus menerima apa adanya dong,” kata Frans.
Mereka cemberut seketika. Kecuali Fred dan Adri yang malah terpingkal-pingkal melihat muka teman-teman mereka yang sangat kecut itu. Maklum deh, mereka kan satu turunan sama Frans. Sama-sama hidung belangnya.
“Apa kalian tak merasa kalau Ray dan Putri itu cocok sekali? Mereka kayak sepasang sejoli yang lagi dimabuk cinta saja,” kata Alex mengutarakan isi hatinya tentang hubungan di antara kedua insan itu. Merekapun sependapat dengan cowok itu. Ryan jatuh cinta pada cewek itu dan dia tak segan-segan merayunya di depan Andin sekalipun. Cewek itupun terkadang menunjukkan perasaan yang sama pula walaupun kebanyakan lebih sering memasang muka yang sangat dingin pada cowok itu.
Di tengah-tengah keasyikan mereka, tiba-tiba Ryan muncul dan membuat ulah. Cowok itu tak menyia-nyiakan kesempatan untuk menggoda Andin. Dia merengkuh paksa cewek itu dalam pelukannya dengan memamerkan kemahirannya dalam menuangkan kata-kata puitisnya.
“Ingin kupinjam sepasang sayap bidadari tuk bawa terbang kau ke awan. Menari-nari di antara kerlip bintang-bintang nan berkilauan. Lalu terciptalah istana cinta nan agung. Rembulan kan tersenyum sipu menyambut dua hati nan tlah menyatu. Angin kan bawakan berita bahagia ke seantero dunia. Sampaikan kepada mereka tentang cerita cinta antara kau dan aku. Cinta suci nan kan terus abadi hingga akhir masa nanti.”
Andin yang sangat kesal dengan ulah cowok itu langsung mendorongnya dengan sekuat tenaga. Ryan jatuh seketika. Dengan menahan rasa nyeri yang menjalari tulang-tulangnya, cowok itu bangkit dan makin gencar merayu cewek itu.
“Datanglah ke dalam pelukanku! Kan kurengkuh engkau dalam nafas cintaku. Tumpahkan segenap rindu yang bersemayam di dalam kalbu. Terbanglah sayap-sayap cinta mengelilingi singgasana hati nan suci. Tebarkan wangi seharum kasturi.”
Andin semakin merah padam saja. Bisa-bisanya cowok itu merayunya dalam situasi yang segenting itu. Bukannya mikirin keselamatan teman-temannya eh malah melampiaskan hobinya yang senang merayu cewek. Dasar cowok nyebelin!
Tika Ryan hendak melunakkan hati Andin dengan kata-kata merdunya kembali, tiba-tiba seseorang menabraknya. Pandangannya pun langsung tertuju pada kedua cewek yang kini berada di hadapannya itu.
“Winda…, Vida… kenapa kalian ke sini? Mana Putri?” tanyanya khawatir memikirkan bagaimana kondisi cewek itu sekarang. Dia sangat kecewa melihat mereka meninggalkan cewek itu sendirian.
“Kamu jahat, Ray. Aku yang sakit, kenapa cuma Linda yang kamu pikirin?!” sewot Winda.
“Maaf, deh. Aku hanya khawatir karena kalian meninggalkannya sendiri. Kasihan dia! Apa kalian udah tak sayang lagi sama dia?”
“Eh, hati-hati kalau ngomong, Ray! Memangnya cuma kamu saja yang sayang sama dia?! Kami juga sama!” ketus Winda.             
“Nyatanya kalian ninggalin dia sendiri!”
“Eh, kenapa jadi kamu yang sewot sih? Sebenarnya teman Linda itu kamu atau kami?!” Winda tersenyum sinis.
“Aku juga temannya,” sahut Ryan.
“Tapi kayaknya Linda sebel banget sama kamu, habis kamu nyebelin sih…!” ledek Winda.
“Aku nggak peduli,” kata Ryan cuek. “Kalau amarahnya reda, dia juga akan menyayangiku pula.”
Semua orang terpingkal-pingkal. Hati mereka semakin diselimuti dengan berbagai macam pertanyaan tentang hubungan di antara Ryan dan cewek itu. Seberapa besarkah arti cewek itu di hati cowok yang menyandang status sebagai play boy itu?
“Apa golongan darahmu?” tanya Winda tiba-tiba.
“Buat apa kamu nanyain soal itu?” tanya Ryan curiga.
“Aku ingin menghisap darahmu!” jawab cewek itu sembari menirukan gaya drakula yang hendak menghisap darah korbannya.
“Ih, cantik-cantik kok mirip drakula sih!” omel Ryan.
Winda tersenyum geli.
“Apa?”
“O.”
“Hah… benarkah?! Akhirnya…!” pekik Winda kegirangan.
“Akhirnya kenapa…?” kejar Ryan.
“Akhirnya kami berhasil menemukan darah yang sesuai jua. Cepat berikan darahmu pada kami!” paksa cewek itu.
“Darahku tak kan kuberikan pada sembarang orang!” ketus Ryan.
“Akan kami berikan apapun yang kamu inginkan. Uang? Atau cewek-cewek yang keren? Gimana… kamu setuju?”
“Emang kamu pikir darah aku barang dagangan, apa?!” Ryan masih teguh pada pendiriannya.
“Hih…!” Winda kesal sekali lantaran permintaannya tidak dipenuhi oleh cowok itu.
“Udahlah, percuma aja minta tolong sama cowok itu. Lebih baik kita minta bantuan sama Andre saja. Siapa tahu dia punya golongan darah yang sama,” saran Vida.
“Ehm…,” Winda berdehem sekeras-kerasnya.
“Kamu jangan mikirin yang macam-macam!” Vida yang lagi gemas lansung mencubit pinggang sahabatnya itu. Windapun menggeliat kegelian. “Aku akan sangat lega kalau dia yang membantu. Dia itu cowok yang kalem dan baik hati pula. Nggak kayak Ray yang arogan!” jelasnya.
Mereka terpingkal-pingkal, kecuali Ryan yang terlihat sangat masam sekali. Dia nggak terima dikatain begitu.
“Ya udah minta tolong aja sama dia sana! Apalagi yang kalian tunggu?!”
“Eh, kalau nggak mau bantu, ya udah. Jangan marah-marah segala!” gerutu kedua cewek itu. Mereka hendak mencari Andre tetapi rencana itu terganggu dengan kedatangan Linda yang sangat tiba-tiba.
“Apa sih yang kalian ributkan?” tanya Linda masih dengan logatnya yang halus.
“Kami sedang ngomongin dar…,” sebelum Ryan menyelesaikan kalimatnya, Winda dan Vida menyikutnya.
“Nggak ada apa-apa kok, Lin,” pungkir Vida.
“Tapi, kenapa dia bilang dar…?”
“Dara maksudnya, Lin. Ray kan paling senang ngomongin soal itu,” elak Winda yang tentu saja membuat cowok yang ada di hadapannya itu sangat marah.
Frans dan teman-temannya merasa heran, mengapa kedua cewek itu menyembunyikan masalah itu dari Linda dan merekapun mulai bertanya-tanya darah itu akan diberikan kepada siapa.
“Sudah kuduga. Memang apalagi yang ada di dalam isi kepalanya? Selain cewek melulu!” ketus Linda.
“Tak bisakah kamu bersikap manis padaku?! Emang apa sih salahku ke kamu?”
“Aku nggak peduli dengan apa yang kamu lakukan di luar sana. Tapi… aku nggak terima kamu permainkan perasaan Arin!” jawabnya.
“Siapa yang mau mempermainkannya? Aku sayang dia seperti hanya kamu menyayanginya. Harus dengan cara apalagi sih aku buktikan ke kamu!” katanya gemas. Bukankah dia sudah mengatakannya berulang-ulang tapi mengapa cewek itu tak juga percayai kata-katanya. Bikin pusing orang saja!
“Buktikan padaku kalau kamu emang layak untuk dipercaya!”
Ryan tersenyum kecut.
“Maaf ya, Put. Bukannya kami bermaksud untuk membela Ray, setahu kami meskipun dia itu seorang play boy tapi dia dapat dipercaya kok. Selama ini dia selalu memegang teguh kata-katanya,” seru Fred yang tahu persis akan sifat sahabatnya itu.
“Oh, ya,” Linda, Vida dan Winda tersenyum sinis.
Mereka tidak mengerti mengapa Linda dan kedua sahabatnya itu sampai segitu tidak percayanya pada Ryan. Namun pertanyaan mereka mengabur ke udara seiring dengan berakhirnya gempa yang telah mengguncang kampus mereka.
“Alhamdulillah, gempanya sudah berakhir!” seru mereka bahagia.
“Kita cari tempat duduk, yuk!” ajak Linda pada kedua sahabatnya. Namun baru sejengkal dia melangkah, tiba-tiba rasa pusing mendera kepalanya. Rasa itu semakin kuat hingga matanya pun mulai berkunang-kunang. Lalu Ryan menyambar tubuhnya sebelum dia terkulai tak sadarkan diri dan membawanya ke rumah sakit.
“Ya Allah… selamatkan dia!” do’a mereka di tengah-tengah rasa panik yang menyelimuti hati mereka. Mereka sangat takut kalau Linda sampai kenapa-napa.

Komentar