Divya yang Sendu
Mereka terlarut dalam keheningan. Hati mereka bertanya-tanya siapa gerangan yang berada di balik pintu itu dan hendak apa dia datang kemari? Hendak membuat kerusuhan atau ingin merajut kembali tali persahabatan nan telah lama terputus?
“Bolehkah kami masuk, Pak?”
“Silahkan saja.”
“Hi, Linda!” kedua cewek itu segera menghambur kepelukan Linda sembari tersenyum manis. Linda sangat terkejut atas kedatangan kedua sahabatnya, Winda dan Vida.
“Kenapa kalian kemari?”
“Kami sangat merindukanmu,” jawab mereka kompak.
“Aku kan barusan aja pindahnya. Kalian ini ada-ada saja…” Linda tersenyum geli.
“Jadi inilah kampusnya pangeran Pelangi yang sangat kesohor itu ya?”
Kedua sahabatnya itu berdehem heras-keras.
“Kenapa Win? Nggak sabar lagi berjumpa dengan si doi ya?” goda Linda.
“Sorry layauw…”
“Katanya doi keren abis, lho,” Vida ikut menggodanya pula.
“Emang aku pikirin!”
“Cool juga…,” goda Linda makin menjadi-jadi namun Winda justru menunjukkan wajah masamnya.
“Paras juga tiada duanya…,” Vida makin gencar menggodanya.
“Biarin!”
Linda dan Vida melongo.
“Memang benar sih paras doi selangit, tapi juga mata keranjang. Aku paling alergi sama cowok begituan.”
Deraian tawa pun menggema di udara.
“Eh, kenapa nggak buat kamu saja, Lin?”
Linda jadi pias seketika.
“Nggak mau!”
“Ha…ha…ha…! Rupanya kamu masih menyimpan rasa benci padanya, ya?” Winda tertawa-tawa.
“Hati-hati, Lin! Rasa benci dan cinta itu jaraknya tipis sekali lho,” Vida ikut mengompori.
“Mana mungkin aku jatuh cinta sama cowok play boy macam dia!” sewot Linda.
Benar juga apa yang dikatakan oleh Linda, sahabat mereka itu. Mana mungkinlah ada cewek yang mau jadian sama cowok play boy yang selalu mempermainkan hati wanita itu. Bisa-bisa tiap hari patah hati melulu.
“Kamu jangan berpaling kalau sedang berhadapan dengannya. Apalagi sampai melarikan diri. Dia memang paling jago ngibulin cewek. Tapi…untuk kali ini buat si Andhika itu jadi KO. Biar dia tahu rasa!”
Semua orang yang ada di sana memandang Ryan penuh selidik. Apa yang telah diperbuat oleh cowok itu sampai membuat ketiga cewek itu sangat membencinya? Tapi sayang Ryan nggak memberikan jawaban apa-apa karena cowok itu pun sama bingungnya seperti mereka pula.
“Memangnya apa yang telah terjadi?” tanya Ryan disela-sela kebingungannya.
“Di bumi Pelangi yang gersang ini, masih terdapat secercah cahaya yang meneduhkan jiwa. Penepis luka. Berpijak di atas belahan hati nan suci ini. Apakah ini nyata? Atau hanya sekedar mimpi yang menyelimuti diri?!” Winda takjub sekali.
Linda dan Vida menggelengkan kepala.
Ryan tersenyum geli. Bukan pemandangan baru jika ada anak cewek yang langsung terpesona melihat paras tampannya. Dia segera menghampiri ketiga cewek itu untuk mengetahui alasan dari kebencian mereka pada dirinya.
Tak jauh beda dari cowok itu, semua orangpun ikut tersenyum geli pula.
“Jangan kumat sekarang, Win! Ingat…kita kemari kan untuk Linda seorang. Kamu kok jadi nyasar kemana-mana sih!” omel Vida.
“Aku ingat kok, Vid.”
“Bisa kan rasa penasaran kami segera diredakan?!”
Seluruh mata tertuju ke arah suara itu. Suara lembut dan berwibawa yang kadang kala suka menggetarkan jiwa. Membuai mimpi para bidadari di seluruh maryapada ini. Memekarkan bunga-bunga kasih sayang. Memetiki rerumputan tinggi yang bermukim di taman hati.
Winda yang paling gugup plus salah tingkah kalau menghadapi cowok yang berparas oke itu menahan desiran di hatinya yang kian menderas.
Ryan tak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengerjainya. Dia memandang tajam ke arahnya. Sorot matanya yang setajam rajawali itu menembus hati. Dia merekahkan senyum kemenangannya tatkala cewek itu mulai merona. Namun kebahagiaannya sirna seketika tika Linda membelai sayapnya yang lembut.
Mereka terpingkal-pingkal.
“Kamu harus mewaspadai atau paling nggak hati-hati terhadap si Andhika, play boy paling top di sini. Apalagi sampai kecebur sama rayuan gombalnya itu, kamu bakalan hancur. Sudah berapa banyak anak-anak cewek yang menjadi korbannya. Tentunya kamu lebih tahu seperti apa mereka jadinya…”
Seisi kelas tertawa-tawa kecuali Ryan yang masih terpana.
“Iya, Lin. Kamu yang baru mengenal namanya aja langsung tertimpa sialnya. Apalagi sampai berdekat-dekatan ria dengannya, kamu bisa babak belur dibuatnya!” kata Vida pula. Dia tidak ingin sahabat yang sangat dicintainya itu mengalami nasib naas gara-gara cowok play boy itu.
Ryan tambah terkejutnya. Apalagi setelah berpasang-pasang mata menyeringai dan menghujatnya pula yang membuatnya semakin keki saja.
“Kamu masih ingat peristiwa itu…?” tanpa dikomandoi Winda mulai menuturkannya.
***
Mentari menyingkap tirai peraduannya. Sinarnya yang kuning keemasan menerpa dedaunan. Kupu-kupu menari-nari di atas mahkota bunga-bunga yang sedang bermekaran. Burung-burung bernyanyi menyambut pagi nan cerah. Diiringi gemericik air yang mengalunkan irama nan indah.
“Bunga-bunga mulai bersemi. Menyinari Divya di pagi hari. Namun entah mengapa sebabnya sepasang sorot mata bidadari nan cantik ini menelurusi dalamnya lautan? Menyembunyikan asa di balik jiwa.”
Cewek cantik yang merupakan salah satu dari anggota gank Divya itu tersipu malu.
“Aku mendengar para pujangga menuangkan syair. Merangkai kata dengan pena abadi. Membawa risalah hati nan suci. Menyampaikannya pada permata hati ini.”
“Siapa gerangan yang telah menawan hatimu? Mencuri kegelisahan dalam tidur lelapmu. Merajut taman impian di dalam kerajaanmu. Menebarkan keharuman di celah kalbu,” goda Via.
Cewek yang bernama Dita itu tersipu-sipu.
“Parasnya nan elok menggetarkan hati. Membuai para bidadari dalam mimpi. Pangeran berkuda putih dari Pelangi. Pencari cinta nan tulus murni.”
“Pangeran Pelangi memang sangat agung. Menawan hati dengan untaian kata. Seberkas senyum manisnya menggetarkan kalbu. Kelembutannya menyejukkan sahara di dalam jiwa,” puji Via, saudara kembarnya pula.
“Via…!” Dita kesal sekali karena saudaranya itu juga diam-diam menyukai cowok itu pula.
“Telah lama kurajut taman kencana di dalam jiwa. Menanti kehadiran pangeran di pelabuhan hati. Meniti mimpi tiada henti. Menyiraminya dengan cahaya nan mendamaikan dada.”
“Jika engkau sudi mengundurkan diri, akan kuhiasi sayapmu dengan intan permata nan murni. Mahkota para bidadari nan sejati. Di antara lautan benci,” bujuk Dita.
“Aku tak keberatan memberimu lautan madu, tapi bukan pelita hati yang aku sematkan di dalam kalbu. Sebab itu harta yang paling berharga bagiku. Meskipun beribu-ribu cabaran mengganggu,” Via menolaknya mentah-mentah.
“Alangkah kejamnya tutur katamu! Mencabik-cabik asa di dalam kalbu. Membawakan peri nan pilu. Meleburkan semua ilusiku…”
“Hidup memang berliku-liku. Adakalanya kebahagiaan datang menghampiri, ada saatnya kesusahan mendera diri. Jika engkau sabar menanti, pasti akan menemui pangeran hati nan kau rindui.”
“Jangan engkau membangun impian pada hati nan retak! Karna engkau tak kan menemui hasil. Percuma saja engkau mengukirkan untaian kata di atas air. Semua itu hanya akan menambah luka nan menyayat-nyayat jiwa..”
“Haruskah kuturuni lumpur nan dalam untuk mencari secarik madu. Mengglepar-glepar di atas sayatan luka. Terperangkap peri. Tanpa adanya seorang penolong nan kutemui…”
“Ehm…”
Deheman yang keras dan berwibawa itu membuat suasana menjadi sunyi. Cewek itu tidak mengerti mengapa kedua bersaudara yang biasanya selalu akur itu tiba-tiba bertengkar mulut yang sangat sengit sekali. Apa kira-kira penyebab dari pertengkaran itu?
“Apa gerangan yang membuat kalian menatap dengan penuh benci?” tanya cewek yang bernama Arin itu.
“Memperebutkan pangeran Pelangi…”
Pangeran Pelangi? Siapa sih cewek yang nggak akan tergila-gila pada pesona cowok yang satu itu? Apalagi setelah dengan mata telanjang dia telah menyaksikan sendiri parasnya nan sangat tampan sekali. Meskipun cowok itu seorang play boy tapi sebenarnya dia itu anak yang baik. Buktinya cowok itu sangat menghormati dirinya tika tanpa sengaja mereka bertemu di mall dahulu.
“Mana orangnya?”
“Di Pelangi sana, Ariiin.”
“Orangnya saja nggak ada, buat apa kalian perebutkan?!” Arin tersenyum geli.
“Untuk menerangi Divya dengan seri,” jawab mereka mantap.
“Seri?” Arin terpingkal-pingkal. “Benci kali!”
Mereka tersenyum malu karena Arin telah memergoki pertengkaran di antara mereka berdua.
“Oi… bidadari kembar memperebutkan pangeran Pelangi. Kalian itu bukan levelnya, tauk! Mendingan buang saja jauh-jauh mimpi kalian itu!” pangkas Fany sadis. Teman-temannya pun ikutan tertawa-tawa pula.
“Jangan asal bunyi, Fany!” Via meradang. Dia tidak terima dengan ulah cewek itu yang seenaknya saja ikut campur urusan orang lain. Fany dan teman-teman makin cekikikan.
“Bukan hal baru lagi kalau dia bikin gara-gara di sini. Maklumlah doi kan cewek biang ribut di mana-mana!” ledek Dita yang membuat telinga mereka kepanasan seketika.
“Jangan kurang ajar kau!” bentak Feny.
“Memangnya kenapa?” Dita dan Via tersenyum sinis.
“Kalian ingin mengadu kebolehan dengan kami hah?!” Fony pun ikut murka pula.
“Siapa takut?!” ledek Dita dan Via kompak.
“Sudah,sudah. Kalian jangan saling memanasi!” Arin menengahi.
“Diam saja, Arin!” bentak Fany dan teman-temannya.
“Lancang sekali kalian! Memangnya apa salah dia?” Dita dan Via tidak terima mereka memperlakukan Arin sangat kasar sekali.
“Kenapa? Kalian tak terima?” sinis Fany.
“Kalian sungguh keterlaluan!” emosi Dita dan Via memuncak seketika lalu serta merta mereka menyerang Fany dan teman-temannya. Fany dan teman-temannya menangkis serangan mereka dengan cepat sehingga perkelahian yang sangat sengit pun tak terelakkan lagi.
“Berhentilah kalian! Jangan berkelahi lagi! Hentikan… cepat hentikan!” nasehat Arin namun Fany dan teman-temannya malah menyerangnya pula.
“Bres…!”
Arin terpelanting. Tubuhnya sangat nyeri namun dengan tertatih-tatih dia berdiri untuk melerai mereka kembali.
Anak-anak Divya mulai bermunculan satu-persatu. Mereka membanjiri tempat itu dan semakin menambah riuh suasana.
“Ayo, serang…!” teriak mereka menggebu-gebu.
“Terus hajar saja mereka. Jangan sampai kalah…!”
“Diam…! Apa-apaan kalian ini?!”
Suara itu pun menjadi sunyi seketika oleh teriakan Winda dan Vida. Kedua cewek itu nanar manakala melihat Arin, cewek lembut yang nggak bisa beladiri itu terkena berbagai pukulan yang mendarat ke arahnya baik disengaja ataupun hanya nyasar belaka karena hendak melerai mereka. Kedua cewek itu segera berlari meminta bantuan untuk mendamaikan perkelahian itu.
***
“Terus apa yang terjadi?” Ryan ingin mengetahui nasib salah satu temannya yang ada di sana. Sudah lama dia tak mendengar kabar tentang Arin, cewek cantik yang telah menjanjikan satu hadiah yang sangat spesial untuknya. Katanya, suatu hari nanti cewek itu akan membawa pelita hati yang selalu dicarinya selama ini karena dia tahu tentang jati diri dari cewek misterius yang selalu memenuhi hatinya dengan rasa rindu yang sangat menggelora dan menorehkan pula rasa perih nan mengiris-iris raganya. Benarkah dia akan menepati janjinya?
“Kenapa kamu sangat antusias sekali?” Vida mulai bertanya-tanya.
“Aku ingin tahu bagaimana keadaan Arin. Dia baik-baik saja kan?”
Winda dan Vida terbelalak.
“Kamu kenal Arin?”
Belum juga Ryan menjawabnya, Fred buru-buru menyerobotnya. Tanpa main perhitungan pula yang membuat Ryan sangat khawatir.
“Tentu saja. Arin kan sahabatnya juga. Memangnya Arin nggak pernah cerita sama kalian…?”
Kedua cewek itu menggeleng pelan.
“Dia itu kan si Andhi…,” Fred segera menutup mulutnya rapat-rapat begitu dia menyadari akan kekeliruannya. Kenapa dia bisa seceroboh itu memberitahu soal identitas Ryan pada cewek-cewek yang sudah jelas-jelas sangat membencinya tanpa memikirkan akibatnya.
“Andhika maksudmu?”
Fred jadi cemas seketika. Begitu juga dengan Ryan pula.
“Benarkan?”
Suasana jadi kian mencekam.
“Ooo…ternyata kamulah orangnya!” mereka hendak menyerang Ryan untuk menumpahkan kemarahan mereka pada cowok itu.
“Wah… sudah lama aku tidak bermain-main dengan cewek-cewek secantik kalian…!” Ryan yang telah kepalang basah ketahuan identitasnya itu tak menyia-nyiakan waktu untuk menggoda mereka. Mereka langsung menendang cowok itu hingga dia jatuh seketika. Rasa nyeri segera menjalari tulang-tulangnya.
”Aduh…!” rintihnya. “Cewek kok bisa sekuat itu, sih!” keluhnya.
Meskipun Linda sangat jengkel melihat ulah cowok itu namun dia tidak dapat menyembunyikan rasa sayangnya yang teramat dalam padanya meskipun kini dia telah berubah menjadi cowok play boy yang senantiasa merayu wanita di mana-mana. Dia jatuh iba melihat cowok itu meringis kesakitan gara-gara pukulan yang sangat keras dari kedua sahabatnya itu.
“Bagaimana? Enak sekali bukan? Makanya jangan sok aksi…!” ledek mereka.
Ryan tersenyum kecut yang membuat teman-temannya terpingkal-pingkal. Sekilas dia memandang aneh pada Linda yang menatapnya dengan tatapan yang lain dari biasanya. Tatapan lembut nan jauh sekali dari rasa benci yang selalu ditampakkan cewek itu padanya. Dia segera mengalihkan perhatiannya kembali.
“Kenapa tertawa-tawa? Ingin menyingkirkan aku juga?”
“Ya…” suasana menjadi gempar seketika.
Ryan terbelalak.
“Kalau Putri di sini, bebanmu akan semakin berkurang. Kamu tidak usah menyelesaikan masalah Pelangi seorang diri. Itu salah satu bukti betapa kami sangat menyayangimu,” jelas Eki mewakili temannya-temannya. Dia tidak ingin Ryan salah sangka oleh kata-kata mereka tadi. Meskipun cowok itu selalu membuat gara-gara di mana-mana tapi dia tetaplah menjadi anak emasnya gank Pelangi. Selain menjadi ketua gank yang selalu melindungi mereka dari marabahaya, dia juga seorang sahabat yang sangat setia. Tak ada seorang pun dari anak-anak Pelangi yang menyangsikan akan kesetiaannya.
“Ah, bilang saja kalian ingin memanfaatkan kami!” sewotnya.
“Apa artinya sebuah kepintaran kalau nggak bisa dimanfaatin,” kilah mereka.
“Suruh saja tuh para Ksatria!”
“Mereka juga akan membantumu pula.”
“Lalu, apa partisipasi saudara-saudara?” tanya Ryan dan kelima sahabatnya itu kompak.
“Membuat keributan di Pelangi…” jawab mereka seraya tersenyum manis.
“Hah…!” mereka terbelalak mendengar jawaban itu.
“Kalian membuat keributan, terus aku disuruh menyelesaikan setuntasnya?! Enak sekali kalian ini…!” kata Ryan cemberut.
“Kamu kan orang paling top di sini. Kemampuannya pun tidak diragukan lagi.”
“Kemampuan yang mana?”
“Kemampuan menangani problem Pelangi sampai masalah pribadi.”
“Emang aku tukang curhat kalian, apa?”
“Ya. Emang kamu keberatan?”
Ryan mengangguk mantap.
“Tapi… kami kan anak yang keren-keren.”
“Emang kalian keren?!” Ryan terpingkal-pingkal melihat wajah teman-temannya yang sangat masam.
“Dari ujung rambut sampai ujung kaki modis dan trendy abis. Masih dibilang kurang keren. Paras? Oke juga. Apalagi yang kurang?”
“Aku kan cuma bercanda saja. Kalian seriusnya bukan main,” Ryan terpingkal-pingkal.
“Sudah, sudah. Jangan diterusin lagi!” sergah Lya. “Bagaimana cerita selanjutnya, Win?”
Sinar matanya mengabur di udara. Menelusuri langit yang biru. Menelusup kecelah-celah awan. Memory di hati pun mulai mendayu-dayu.
***
Para bidadari merajut bunga di taman sari. Selendang sutera ungu membalut tubuh mereka nan indah. Sinar mata nan sebening kristal itu berpendar dengan ceria. Menebarkan aroma kasturi. Menghiasi Divya dengan seri. Merangkai mahkota nan suci. Lalu memakaikannya pada sang putri.
Alunan suara nan merdu bertalu-talu. Para bidadari itu beralih tujuan. Tatapan mata mereka nan tajam itu menembus raga. Mencari-cari jawaban di dalam kalbu.
“Lin…!”
Linda dan teman-temannya terheran-heran melihat kedatangan Winda dan Vida yang nampak terlihat sangat panik sekali.
“Apa yang terjadi?”
“Arin… dalam bahaya…!”
Gemerincing kaki mengalun merdu. Mengalunkan irama nan mendayu-dayu. Lambaian angin membelai mereka. Namun ia tak mampu meredam kecemasan di dalam dada. Rasa peri semakin menjeruji diri. Hingga di batas tepi, ia masih menari-nari.
“Berhenti…!”
Suara nan berkharisma tinggi itu mengalunkan wibawa nan murni. Suasana mencekam sunyi. Berpasang-pasang mata saling bersiteru. Menghujat anarki yang memilukan kalbu.
“Apa yang kalian ributkan?”
“Pangeran Pelangi…”
Sinar mata Linda meredup seketika menahan rasa sedu yang menjalari hatinya. Dia tak habis pikir mengapa teman-temannya itu bisa saling bermusuhan hanya gara-gara seorang cowok. Pangeran pelangi… siapapun dirinya yang pasti dia sangat membencinya karena cowok itu telah membawa pengaruh buruk pada teman-temannya.
“Untuk apa kalian meributkan mimpi yang tiada arti?! Bukannya kalian semua sudah tahu kalau cowok itu seorang play boy yang gemar sekali mematahkan hati wanita. Apa sudah tidak ada lagi cowok baik di dunia ini sampai kalian harus memperebutkan cowok seperti itu?! Buka mata hati kalian!” serunya parau.
Suasana menjadi sunyi seketika.
“Lebih baik kamu bercermin dulu, Lin! Sebelum kamu menasehati kami, nasehatilah temanmu itu…!” Fany mengacungkan jari ke arah Arin seraya tersenyum sinis.
Linda terkesiap.
“Apa maksudmu?”
“Dia juga sama…”
“Kalian hanya salah paham saja,” sangga Arin.
“Akui saja kalau kamu juga suka dia!” sela Fony.
“Aku memang suka dia. Tapi…” Arin mencoba menjelaskan perasaannya pada mereka tapi mereka buru-buru mengambil kesimpulan sendiri.
“Benarkan apa yang kami bilang?!” Fany dan teman-temannya tersenyum sinis.
Linda nanar seketika.
“Bukan itu maksudku, Lin…” belum sempat Arin menjernihkan persoalan itu, tiba-tiba saja Fany dan teman-temannya menyerangnya hingga dia jatuh bermuntahkan darah.
Linda meradang seketika. Lambaian angin menerpa lembut wajahnya. Namun ia tak mampu membasahi hatinya yang panas membara.
Langit dan bumi bertemu. Bersiteru. Menegangkan Divya dengan kecemasan. Yang meninggikan bulu roma.
Langit muram mencekam suram. Debu-debu berterbangan. Sayat-sayat luka mengintai perih. Mencerkam api.
***
“Kamu bisa beladiri juga, Put?”
“Apa…?!”
“Kamu tadi ngapain, Put?” tanya Ryan gemas.
“Aku…”
“Lagi mikirin aku kan?” tebaknya berbinar-binar.
“Untuk apa aku memikirkan kamu?” sewot Linda yang bikin cowok itu lunglai seketika.
“Jangan bersedih hati, Ray! Masih banyak kok anak-anak cewek yang selalu setia menunggumu,” hibur Fred.
“Tapi… dia sangat istimewa bagiku,” Ryan makin terpekur sendu.
“Relakan saja kepergiaannya. Tak ada guna engkau menahannya. Menawannya dalam sayu. Menebarkan kelu. Jika di hatinya tak ada tempat berlabuh untukmu,” nasehat Andre.
“Jangan engkau menggarami peri di hati ini! Aku tak kuasa menahannya. Aku bisa menahan semua cabaran, tapi bukan rembulan yang aku kagumi dengan sepenuh hati.”
Andre terdiam seketika. Merasakan sakitnya jua. Meski jasad terhalang tembok yang tinggi, tapi jiwa saling merasai.
Rembulan yang dia kagumi dengan sepenuh hati? Linda memandang kesal pada cowok itu. Mudah sekali dia mengucapkan kata-kata itu. Tak tahukah dia bagaimana perihnya menahan rindu yang ia rasakan? Apa dia juga rasai bagaimana sukarnya merajut impian di hati yang tanpa ada suatu kepastian? Haruskah dia bahagia atau justru ingin menangis sejadi-jadinya karena pertemuan yang selalu di nanti-nantikannya tak sesuai apa yang diimpikannya. Apalah arti dari pertemuan ini jika mereka berdua kini seperti orang asing yang tak mengenal satu sama lain.
Hati Ryan mulai bertanya-tanya tika tanpa sengaja matanya bertatapan dengan Linda yang sedang menumpahkan perasaannya lewat sorot matanya itu. Entah mengapa hati cowok itu terasa sangat remuk sekali kala melihatnya. Siapa sebenarnya cewek itu? Dan ada kaitan apa antara dia dengan dirinya?
“Pangeran Pelangi berselimut kabut. Impian di hati meruntuhkan diri. Menggoreskan memory sendu yang menari-nari di ulu hati,” Frans tertawa-tawa.
Pangeran Pelangi tercekam sunyi. Isak tangis jiwa menggoreskan luka. Menyiksa diri. Meninggalkan lara nan tiada tara.
“Jangan engkau lukai hatinya lagi! Pelangi tak kan menyetujui. Permata hatinya tak selayaknya diabaikan. Terlarut dalam kelam nan berkepanjangan,” nasehat Alex yang seketika membuat Frans sadar kembali.
“Lalu, apa yang terjadi, Win?” tanya Adri memecahkan kesunyian yang tengah menyelimuti mereka.
Teman-temannya memelototinya.
“Jika ingin menyingkap kabut di hati, alihkan dia dari mimpi hitam ini,” Adri membela diri dan tampaknya teman-temannya pun langsung sependapat dengan pikirannya pula. “Bagaimana cerita selanjutnya?”
***
Pakaian nan serba putih bertebaran di mana-mana. Wajah-wajah nan pias terbaring tak berdaya. Diselingi isak tangis nan memilukan jiwa. Menegangkan suasana. Diiringi aroma nan menajamkan indera penciuman. Merangkai kesabaran di atas derita nan berkepanjangan.
Luka menggema di angkasa. Diiringi rintihan jiwa yang memilukan asa. Satu-persatu bidadari menuruni tempat nan duka. Mata indahnya sayu menahan kelu. Sayapnya bertaburkan duri yang merenggas kalbu dengan sembilu.
“Jangan bersedih lagi, kami baik-baik saja!” ujar Arin lembut kemudian dia memandang Linda yang masih terlarut dalam kesedihan. Dia benar-benar bingung bagaimana caranya memberitahu pada sahabatnya itu bahwa cowok play boy itu ternyata “Mawar Merah” yang selalu dinanti-nantikannya selama ini. Dia tidak dapat membayangkan bagaimana syoknya hati Linda jika mengetahui rahasia itu. Masih terngiang-ngiang di telinganya bagaimana cewek itu selalu mengelu-elukan kebaikan dari “Mawar Merah” yang telah membantunya keluar dari rasa frustasi akibat kepergiaan dari orang-orang yang sangat dia cintai.
“Begitu mudahnya kita melintasi hati. Meniti mimpi nan bertaburan duri. Mematahkan sayap para bidadari. Hanya karena seorang pangeran Pelangi…” ujarnya pilu.
“Lin…”
Mata lentik mereka berkaca-kaca. Menunggu waktu untuk bergulir. Membasahi pipi. Memahat sayatan luka nan menganga. Meninggalkan peri nan tak bertepi.
“Aku tahu hatimu sangat terluka. Namun tak selayaknya kita terus menyesali diri. Hanya peri yang akan membasahi. Menggarami luka ini.”
“Benar apa kata Arin, Lin. Jangan bersedih lagi! Lupakan saja semua ini!” rajuk teman-temannya pula.
Setitik kabut mulai tersingkap. Merekahkan sebuah senyuman nan indah. Pelipur duri di hati. Memancarkan seberkas cahaya nan berseri-seri.
“Aku memang sahabat terbaikku,” Arin memeluk Linda erat. “Tapi, Andhika itu tidak seperti apa yang kamu pikirkan. Suatu hari nanti kamu pasti akan mengerti…”
“Kamu kok ngebelain dia, Rin. Gara-gara cowok itu kalian masuk kemari. Pokoknya kami nggak terima. Suatu hari nanti kami pasti akan membuat perhitungan dengannya!” ujar mereka berapi-api.
Linda melepaskan pelukannya. Mata lentiknya teredar ke mana-mana. Dilihatnya Fany dan teman-temannya mengerang kesakitan, Winda dan Vida yang terluka tangannya, kedua cewek kembar yang terkulai tak berdaya dan keningnya yang memar akibat hantaman keras dari Fany.
“Bagaimana kabar kalian?” tanya Linda pada kedua cewek kembar itu.
“Baik. Tanks ya, kamu datang tepat pada waktunya.”
“Hiburlah Fany dan teman-temannya yang habis kalian keroyok beramai-ramai itu,” saran Arin. Dia merasa kasihan pada mereka. Walau senakal apapun, mereka tetaplah anggota genk Divya yang harus dicintai dan dikasihi. Dia percaya suatu hari nanti mereka akan berubah menjadi anak-anak yang baik seperti teman-temannya pula.
“Arin tetap sayang pada kalian meskipun dia telah kalian sakiti…!” seru kedua cewek kembar itu.
Mereka hanya mendengus kesal.
Linda dan teman-temannya menggeleng pelan. Cewek-cewek itu memang nggak pernah berubah selalu saja membuat gara-gara dengan yang lainnya. Mereka sampai bingung bagaimana caranya agar dapat menaklukkan hati cewek-cewek itu yang sekeras batu.
Linda mendekati sebuah cermin yang berada tak jauh darinya. Teman-temannya segera diliputi berbagai macam pertanyaan apa yang hendak dilakukan oleh cewek itu.
“Aku akan membuat nasib cowok itu seperti cermin ini…!” geram Linda lalu dia menepalkan tangannya dan meninju cermin itu hingga jatuh berkeping-keping.
“Itu cermin, Lin. Bukan si Andhika…!” mereka geleng-geleng kepala lalu berhamburan untuk menolongnya.
Bidadari nan elok itu tersenyum manis. Menepis duri-duri di hati. Melipur lara di dalam jiwa. Menyinari negeri dengan sinarnya nan indah. Seindah cahaya mentari nan berseri-seri.
Komentar
Posting Komentar