Janji Seventeen Part 1

 Tika sang surya telah menampakkan sinarnya nan cerah, Renna dan keluarganya menunggu kehadiran tamu dari London di bandara. Dia mondar-mandir tidak karuan karena orang yang ditunggu-tunggunya itu tidak tiba-tiba jua.
“Kenapa mereka nggak muncul-muncul juga ya?” tanya Renna gusar.
“Duh… nggak sabar mau ketemu sama calon suami niye...!” goda Rony, kakaknya.
Renna langsung cemberut seketika. Calon suami? Yang benar saja. Dia kan masih terlalu dini untuk dijodohkan.
“Ih, norak amat! Gue masih kecil, tauk!”
“Nggak masalah kok. Lagian, peresmiannya kan masih lama,” seru Rony memanas-manasi. Puas rasanya bisa mengerjai adiknya.
Lihat aja nanti! geram Renna di dalam hati. Pokoknya dia tidak akan bersedia dijodohin sama orang yang belum dikenalnya sama sekali.
Mami dan Papi hanya tersenyum saja mendengarnya.
Tak lama kemudian, terdengar suara pesawat terbang  menderu-deru. Satu-persatu penumpang turun dari dalam pesawat itu.
Seorang lelaki paruh baya yang tampan datang bersama istrinya yang sangat cantik dan anggun pula. Di tengah-tengah mereka, ada seorang anak kecil seumuran Renna yang sangat gemuk sekali.
Lutut Renna lunglai seketika. Dia berdo’a semoga orang tuanya tidak berniat untuk menjodohkannya dengan anak gendhut itu. Bisa hancur repotasinya sebagai anak terpopuler di sekolah.
“Heh, kurus! Ngapain loe melototin gue?” tanya anak gemuk itu yang merasa risih karena Renna terus saja memelototi dirinya. “Loe naksir?”
Sialan! rutuk Renna di dalam hati.
“Jangan ge-er deh! Nggak mungkin cewek secantik gue naksir sama cowok gendhut kayak loe!” sengit Renna.
“Jangan kurang ajar loe!”
“Idih, takut…!” Renna mencibirnya.
“Dasar kurus!” geram anak itu.
“Gendhut, gendhut …!” ledeknya. Dia sangat puas ketika melihat anak itu sangat merah padam.
“Awas loe!” ancamnya, lalu dia menonjok perut Renna.
Renna merintih kesakitan, lalu dia balas menggigit lengan anak itu.
“Aauwww …!” rintih anak itu kesakitan. Dia tidak menyangka ternyata anak itu berani membalasnya.
“Hahaha …! Rasain loe!” kata Renna puas.
“Cewek sialan!” rutuk anak itu.
Renna terkekeh.
Semua orang hanya tersenyum melihat kenakalan mereka berdua. Renna dan anak gemuk itu sama-sama keras kepala dan tidak mau mengalah pula. Untuk menghindari sesuatu yang tidak diinginkan, maka mami Renna berinisiatif mendamaikan pertengkaran itu.
“Udahan berantemnya dong! Sekarang kita kenalan, oke?!” lerai Mami. “Tante, Lidya.”
“Gue …”
“Gendhut!” sela Renna dengan nada mengejek.
“Diem loe, kurus!” pelotot anak itu. Dia sangat kesal lantaran Renna menyela perkataannya.
Renna terus mengejek anak itu pakai bahasa isyarat dari balik punggung maminya.
“Pulang yuk, Mi!”
“Udahan ngambeknya dong, Say!”
“Luthfi nggak tahan tinggal seatap sama si kurus yang jutek itu, Mi!” keluh Luthfi yang meresa tidak nyaman berada di dekat Renna karena anak itu selalu saja menyulut emosinya.
Renna dongkol dibuatnya.
“Gue juga nggak level tinggal ama loe!”
“Udah, udah! Masa sesama calon suami istri tengkar mulu!” lerai Rony.
“Ih, gak sudi gue punya istri kayak loe!” nyinyir Luthfi. Bisa hancur hidupnya kalau tinggal serumah bersama anak jutek itu setiap saat. 
“Sama! Mending gue nenggak racun serangga daripada nikah sama loe!” sengak Renna pula. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana sedih dan malunya karena memiliki calon suami yang sangat jelek itu. Apalagi menikah? Amit-amit deh!
“Cewek jutek!”                                                   
“Gendhut!”
“Maaf ya, Sis. Anak aku yang satu ini emang nakal sekali,” kata Mami yang merasa tidak enak lantaran Renna terus mengejek Luthfi, putra Siska, sahabatnya semasa kuliah dulu. Mereka sudah lama sekali berpisah. Beliau ingin menyambut keluarga sabahatnya itu dengan sambutan terbaik, tetapi Renna malah mengacaukan segalanya.
“Nggak pa-pa kok, Lid. Luthfi juga gitu.”
Luthfi dan Renna terus aja berantem. Bahkan tika sudah duduk manis di jok mobil pun mereka masih saja meneruskan perang mulut yang kelewat akut.
“Jangan makan mulu dong! Gak nyadar apa kalo body loe yang melar itu, bikin sesak semua orang!” ketus Renna sengit. Dia sengaja mendesak-desak tempat duduk Luthfi supaya anak itu susah bergerak.
Luthfi sangat kesal sekali dengan ulah Renna. Pikirnya, anak itu benar-benar kurang kerjaan saja. Dia pun mulai melancarkan serangan balasan pula. 
“Ah, loe aja yang kegatelan! Di samping loe masih ada yang kosong, kok loe malah ngedesak-desak gue. Jangan munafik deh! Loe naksir gue kan?” pangkasnya cepat.
“Sampai mati gue gak bakalan naksir sama loe!”
“Benarkah? Gue pegang kata-kata loe! Loe jangan nyesel ya?”
“Ih, ngaco deh! Apa yang harus gue sesali?” cibirnya.
“Kalo gue udah besar nanti, gue akan jadi cowok terbeken dan termacho di kelas loe. Gue akan selalu dikelingingi sama cewek-cewek cantik. Dan bila saat itu tlah tiba, gue gak bakalan mau nerima loe jadi cewek gue!”
“Loe jangan ngimpi di siang bolong gini, deh!”
Jadi cowok beken dan macho? Apa tidak ketinggian mimpi anak itu? Kok masih ada ya anak se-pe-de itu di dunia ini! 
“Lihat aja nanti!”
“Oke.”
“Loe serius nih, Fi? Jadi cowok beken dan macho itu sangat susah. Makan loe aja rakus kayak gini!” kata Rony yang merasa tidak yakin anak itu dapat mewujudkannya.
“Nih gue kasih ke loe!” Luthfi memberikan beberapa bungkus snack pada Rony. Tanpa malu-malu dia langsung memakannya. “Gue tahu kok, loe melototin makanan gue mulu.”
Rony tersedak.
Huk!
“Minum nih!” Luthfi memberikan soft drink sembari menepuk-nepuk punggung anak itu.
Rony menyeruput minumannya dengan cepat.
“Tanks, Fi. Loe baik banget deh! Mulai saat ini gue akan selalu ngedukung loe kok.”
“Kok Kak Rony malah ngedukung dia sih!” prores Renna.
“Habis loe gak pernah ngasih apa-apa ke gue!” kilah Rony.
“Hahaha … selain jutek, loe juga pelit!”
Renna membuang muka sebal.
“Loe mau juga?” goda Luthfi ingin memanas-manasi Renna.
Melihat snack kesukaannya mata Renna jadi ijo. Tapi demi menjaga rasa gengsi yang setinggi gunung semeru, ditolaknya mentah-mantah tawaran itu.
“Gak sudi gue makan hasil pemberian loe!”
“Terserah, kalo loe mau kelaperan. Kita habisin semuanya yuk!”
“Loe emang baik banget, Fi. Gak nyesel deh gue punya adik ipar kayak loe.”
“Dasar rakus!” sengak Renna.
Rony dan Luthfi terkekeh-kekeh. Mereka malah memanas-manasi Renna. Renna cuma menelan ludah pahit. Dia tidak henti-hentinya melototin snack yang ada di tangan mereka.
Sial! Gue nggak kebagian! Awas loe, gendhut!
Setelah menelusuri jalan nan panjang, akhirnya mobil itu pun sampai di tempat tujuan. Mereka segera turun dari sana.
Dengan gayanya yang menyebalkan Luthfi mulai buka suara.
“Luthfi nggak mau tinggal di sini, Mi. Cari hotel aja deh, Mi!”
Huh, sok banget sih! geram Renna di dalam hati.
“Sabar ya, Sayang! Luthfi tinggal di sini cuma sebentar kok.”
“Janji ya! Gak boleh lama-lama!”
Dasar nyebelin! geram Renna masih di dalam hati.
“Iya, Mami janji.”
“Yang lama aja, Fi! Loe nggak suka tinggal sama gue?”
“Gue sih oke-oke aja. Masalahnya gue nggak tahan tinggal lama-lama sama si jutek itu,” seloroh Luthfi sambil menuding Renna.
Renna merah padam.
“Gue juga sama!” ketusnya sengit.
“Selamat datang di istana mungil kami, Luthfi!” Mami, Papi dan Rony mempersilahkannya bak seorang putra raja saja. Renna yang kesal makin tambah kesalnya deh!
“Loe gak mau ngasih ucapan selamat datang ke gue?” tegur Luthfi.
“Gak sudi!” Renna ngeloyor ke dalam.
“Pelit amat loe!” keluh Luthfi. Masa cuma mengucapkan kata selamat saja Renna tidak mau. Padahal itu kan sangat ringan diucapkan. Dasar anak menyebalkan!
“Biarin!” kata Renna cuek. Dia tak sedikitpun menoleh ke arah anak itu.
Mereka masuk ke dalam rumah. Mami dan papi menunjukkan kamar pak Pram dan bu Siska, sementara Rony bertugas menemani Luthfi.
“Loe tidur di kamar gue aja, Fi!” saran Rony akrab sekali.
“Oke. Loe sendiri tidur di mana?” tanya Luthfi.
“Gue tidur sama loe. Gak pa-pa kan?”
Luthfi mengangguk.
“Kita beresin koper loe dulu, Fi! Habis itu kita ke ruang tamu. Oke?”
“Oke deh,” seru Luthfi kegirangan.
Sambil berbenah-benah mereka asyik mengobrol ke mana-mana.
“Gak nyangka ternyata si jutek punya kakak sebaik loe,” Luthfi geleng-geleng kepala, heran. Menurutnya, Rony dan Renna bagaikan dua kutub yang sangat berlawanan sekali. Rony anaknya sangat ramah dan baik hati, sementara adiknya juteknya minta ampun.
Rony tersenyum simpul.
“Kok beda amat sama dia ya? Benar nggak sih dia itu adik loe?” tanya Luthfi heran karena kedua kakak beradik itu memiliki karakter yang sangat jauh berbeda.
“Loe jangan fanatik gitu dong! Meski jutek tapi sebenarnya dia anak yang baik kok.”
“Oya? Tapi kayaknya gue nggak ngelihat sisi baik kok,” katanya terus terang mengungkapkan penilaiannya tentang Renna.
“Loe kan barusan aja kenal, Fi! Wajar aja kalo loe nggak lihat!” kata Rony seraya tersenyum tipis.
“Kenapa adik loe bisa sejutek itu sih?”
“Maklum deh, dia itu kan anak paling bontot. Manjanya nggak ketulungan. Ntar kalo Mami punya baby lagi, doi pasti berubah kok,” jawab Rony yakin.
“Loe yakin?”
“Jangan pesimis gitu dong! Semangat men! Semangat!” kata Rony berapi-api.
“Iya, gue ngerti kok.”
***
Sang malam mulai mengoyak tirai senja nan indah
Beribu-ribu bintang mulai memamerkan keelokannya
Sinar rembulan nan redup menawan insan dalam kekaguman
Memuji keagungan dari sang pencipta
Di ruang tamu Renna duduk termangu. Dia sangat kesal karena dicuekin oleh segenap keluarga. Mami sibuk sama tante Siska di dapur, Papi sibuk ngomongin soal bisnis sama om Pram, Rony … happy berat kedatengan teman baru sampai adik kesayanganya ditelantarkan.
“Huh … sebel, sebel, sebeeel!”
“Renna kenapa tuh, Pras?”
“Biasalah, Pram. Penyakit lama anak-anak, minta diperhatikan. Kita terusin ngobrolnya lagi yuk!”
“Tapi …”
“Nggak usah khawatir deh, Pram. Ntar juga reda kok,” kata Papi cuek.
“Renna mo kabur aja deh!” pancing Renna mau minta tanggapan gitchu. Tapi …
“Papi setuju deh! Perginya yang lama ya!”
“Kalo pulang, jangan lupa bawain Mami oleh-oleh yang banyak, Sayang!” sambung Mami yang barusan keluar dari dapur dengan membawa minuman.
Renna manyun.
“Mami jahat, Papi jahat, kak Rony juga. Semua jahat! Nggak ada yang sayang sama Renna lagi!”
“Gue sayang sama loe kok,” celutuk Luthfi dari atas tangga dengan nyaringnya.
”Diem loe, gendhut!” pelotot Renna.
Luthfi terkekeh. Sementara seisi rumah ketawa-tiwi. Tidak terkecuali bu Siska yang barusan tiba di ruang tamu dengan membawa hidangan yang sangat menggugah selera.
“Jangan marah-marah mulu dong, Say! Ntar cepat tua, lho!” Luthfi makin menjadi-jadi.
“Biarin! Loe balik ke London aja deh! Sana pergi! Pergi …!” usirnya galak.
“Kalo gue pergi, loe mau nikah sama siapa dong?”
“Rese banget sih loe! Gue mo nikah sama siapapun itu bukan urusan loe!”
“Tentu aja itu jadi urusan gue. Gue kan tunangan loe. Cuma gue yang boleh nikah sama loe!”
“Gue nggak sudi nikah sama cowok gendhut kayak loe!”
“Biar gendhut tapi gue baik kok.”
Ih, tebal juga muka tuh anak!
“Gue nggak peduli!”
Luthfi tersenyum puas bisa mengerjai Renna sehingga membuat anak itu marah-marah tak terkendali.
Seru juga bisa ngerjain cewek sejutek dia! batinnya.
“Ayo turun, Sayang! Tante udah sediain makanan yang lezat untukmu.”
Luthfi jingkrak-jingkrak menemui maminya Renna.
“Buat Rony ada kan, Mi?”
Mami mengangguk.
Rony segera menyusul Luthfi.
Renna memandang Luthfi dengan penuh benci. Dia sangat muak menyaksikan seluruh kasih sayang familinya tertuju padanya.
Luthfi yang sedari tadi dipelototin oleh Renna itu merasa jengah juga.
“Kenapa loe melototin gue? Baru nyadar kalo gue cakep ya?”
“Ih, ge-er amat!”
“Trus, ngapain loe melototin gue?”
“Gue muak ngelihat tampang loe, tauk!” Renna membenturkan sendok dan garpu yang ada digenggamannya, lalu ngeloyor ke kamar.
Luthfi tercenung.
“Nggak usah didengerin apa kata Renna tadi, Fi.”
“Tapi …”
“Renna cuma emosi kok. Nggak usah kamu masukin ke hati,” Mami ikut menimpali.
“Sabar ya, Luthfi!” maminya mengelus rambut hitamnya yang legam, lalu menyium keningnya.
Luthfi mengangguk.
“Sana Luthfi temui Renna! Bujuk dia agar mau makan yang banyak.”
“Iya, Mi,” Luthfi pergi dengan membawa sepiring nasi yang penuh. Dia membuka pintu perlahan-lahan.
“Gue bawain makanan buat loe. Makan yang banyak ya! Biar loe cepat besar.”
“Daripada loe pusing-pusing mikirin soal nasib gue, mendingan pikirin aja diri loe sendiri,” katanya sinis.
“Gue taruh makanannya di meja. Kalo lapar, loe boleh makan sepuasnya. Gue pergi dulu ya!”
Luthfi beranjak pergi dan bersembunyi di balik pintu.
Renna yang mengira anak itu telah pergi langsung bangun dan melahap makanannya. Dia tidak pernah menyadari kalau ada sepasang mata yang terus mengawasinya. Sesekali senyum manisnya merekah dengan sempurna. Sepasang mata itu baru beranjak pergi ketika Renna telah menghabiskan makan malamnya.
“Kenyang deh perut gue!”
Selesai makan, Renna gosok gigi, lalu meraih buku diary miliknya guna menumpahkan semua kekesalannya pada anak gemuk yang telah mencuri semua perhatian keluarganya.
Tak pernah kurasai malam semendung hari ini
Langit nampak tak berbintang tertutup awan hitam
Rembulan pun terpekur sayu menyembunyikan keelokan parasnya nan indah
Begitu pula apa yang kurasai saat ini
 Hadirnya tlah bawa beribu-ribu luka di sanubariku
Karna ia tlah renggut semua milikku
Tak ada yang ia sisakan untukku
Selain kristal-kristal kebencian yang merejam-rejam sukmaku 
***
“Terima kasih kalian telah ngizinin kami tinggal di sini,” ucap bu Siska berbinar-binar. “Kami tak pernah melihat Luthfi segembira hari ini.”
“Sama-sama, Sis. Kami juga senang kalian menginap di sini. Biar Luthfi tinggal sama kami. Aku udah telanjur sayang sama dia.”
“Kalo Luthfi di sini, aku harus tinggal sama siapa, Lid?”
Kan masih ada Pram.”
“Kamu nih ada-ada saja, Lid.”
Mereka tertawa-tawa, lalu pergi ke kamar masing-masing. Tentunya setelah mengunjungi anak-anak yang tergolek di kamar.
***
Mentari bersinar cerah menyibakkan tirai malam nan kelam
Cahyanya yang indah menerpa dedaunan nan hijau
Nyanyian burung-burung nan merdu mengiringi perjalanannya
Mencapai singgasananya yang agung
“Gue boleh main sama loe, Renna?!” tanya Luthfi berharap anak itu mau bermain bersamanya.
“Nggak,” tolak Renna karena tidak menginginkan dirinya diledekin oleh teman-temannya jika melihat mereka bermain bersama. 
“Teman gue kan cuma loe. Biarin gue main sama loe dong!” katanya beralasan.
“Ih, gue kan udah bilang nggak mau main sama loe. Loe tuli ya?” sewot Renna karena melihat Luthfi tidak mau menyerah pada keinginannya.
“Izinin gue main sama loe dong! Kan besok gue akan balik ke London. Masa sih loe nggak mau ngizinin gue main sama genk loe untuk terakhir kalinya?!” bujuknya. Awalnya Renna tidak mengindahkannya, tapi lama-lama akhirnya dia berhasil juga mendapatkan persetujuan darinya. Mungkin lantaran Renna sudah bosan mendengarkan rengekannya yang bertubi-tubi, jadi akhirnya dia memutuskan menuruti permintaannya saja.
“Oke, gue izinin loe main, tapi dengan satu syarat. Loe jangan bikin malu gue!” kata Renna tegas.
Renna pergi ke salah satu rumah temannya bersama Luthfi. Di sana mereka disambut dengan ejekan dari teman-teman Renna.
“Wow … pasangan baru mesra amat niye!”
“Dia bukan siapa-siapa gue kok,” bantah Renna sembari menahan rasa malu yang dalam akibat ledekan teman-temannya. Beruntung ada seseorang yang datang untuk membela dirinya.
“Gue tahu loe gak mungkin punya hubungan dengan si gendhut itu. Elo kan cewek terpopuler di sini,” kata anak cowok yang barusan aja nongol itu.
“Makasih, Fer. Elo udah ngebelain gue.”
“Gue boleh gabung sama kalian kan?”
Luthfi ingin bermain bersama mereka. Dia berharap mereka mengizinkannya tetapi malah  penolakan yang didapatinya.
“Elo benar-benar gak tahu malu ya? Kami nggak mau dekat-dekat sama loe, tauk!” sengit Feri.
“Biarin aja deh, Fer! Lagian, besok dia udah nggak ada di sini kok,” kata Renna beralasan.
“Kenapa loe ngebela dia, Renna? Loe suka dia?” tanya Feri curiga.
“Enak aja loe ngomong! Liat muka gue, secakep gini! Mana mau sama anak gendhut kayak gitu.”
Setelah kelar menumpahkan amarahnya, Renna ngeloyor ke dalam.
Dada Luthfi terasa sesak menahan amarah yang sudah mau meledak-ledak. Pantas saja Renna sangat temperamental sekali, orang teman-temannya sifatnya sangat kasar-kasar begitu.
“Ngapain loe masih berdiri tegak di situ? Buruan masuk!” sengak Feri.
“Elo nggak perlu teriak-teriak! Gue nggak tuli, tauk!” balas Luthfi tidak kalah sengitnya.
“Elo berani nantangin gue?!” Feri sangat murka lantaran Luthfi berani membalasnya.
“Maaf, gue nggak ada waktu buat ngeladenin loe!” kata Luthfi cuek sembari ngeloyor ke dalam.
 Feri menonjok dinding menumpahkan kekesalannya.
“Awas loe, gendhut! Gue akan balas penghinaan ini!”
Feri dan teman-temannya segera menyusul Renna.
Luthfi tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mendekati Renna. Tika dilihatnya anak itu termangu di depan kolam renang, dia bergegas menghampirinya dan duduk di sampingnya.
“Elo baik-baik aja, Renna?”
“Gue baik-baik aja kok,” Renna tersenyum hambar.
“Ikut gue ke London, Renna!”
Renna menggeleng pelan.
“Kenapa nggak mau?”
“Gue nggak punya teman di sana. Gue pasti kesepian.”
Kan masih ada gue.”
“Nggak, ah.”
“Dasar payah! Gitu aja takut!” ledek Luthfi. Dia pun segera berlari guna menghindari serangan Renna. Tapi Renna nggak ngasih kesempatan sedikitpun untuk melarikan diri. Mereka berkejar-kejaran mengitari ruangan mungil itu.
Feri dan teman-temannya yang barusan tiba ternganga sekaligus geram melihat kedekatan di antara mereka berdua..
Feri merangsek ke depan, lalu menyeret dan mendorong Luthfi ke kolam.
“Apa-apaan loe, Fer? Jahat banget sih loe jadi orang! Emang apa salah Luthfi?” tanya Renna geram.
“Dia … dia itu nggak tahu malu! Dia nggak juga sadar, kalo dia itu nggak sederajat sama loe!” jawab Feri membela diri.
“Gue nggak habis pikir loe bisa berbuat segila itu, Fer!” Renna benar-benar naik darah. “Gue benar-benar nyesel kenal sama loe! Kita pulang, Fi!” Renna ngulurin tangannya ke Luthfi. Dengan suka cita anak itu menyambut uluran tangannya.
“Tunggu, Renna!” Feri coba menghalangi.
“Gue udah capek ngeladenin loe! Gue nggak mau temenan sama cowok sinting kayak loe!” tampik Renna mentah-mentah.
Meski berulang-ulang kali Feri coba mencegah kepergian Renna tapi dia nggak juga mendapati hasil.
“Awas loe, gendhut! Gue akan lumatin loe!”
“Udah deh, Fer. Cewek kece di dunia ini nggak cuma Renna. Masih banyak kok yang lebih kece dari dia!” hibur teman-temannya.
“Diaaam!”
Mereka terdiam lantaran takut sama teriakan Feri yang nyaring dan sangat menakutkan itu.
***
“Feri gila, sinting, sok cakep banget! Gue benci loe! Gue benci …!” maki Renna bertubi-tubi.
“Loe benci karena dia udah ngehina gue?”
Pertanyaan itu bikin Renna terhenyak.
“Loe jangan ke-ge-er-an, Fi! Gue tuh muak ngelihat tingkahnya yang makin norak itu!” kilah Renna.
“Oh …,” Luthfi manggut-manggut seraya tersenyum simpul.
Setapak demi setapak jalan telah mereka lalui hingga tak terasa mereka telah tiba di rumah.
“Kok sepi? Ke mana perginya mereka?”
Luthfi mengangkat bahu.
“Ke kolam yuk!”
“Oke,” jawab Luthfi riang.
Mereka menuju kolam renang yang ada di belakang rumah, lalu bermain-main dengan air yang dingin itu.
“Ayo, turun!” ajak Luthfi.
Renna menggeleng pelan.
“Masa cuma gue yang bolak-balik ke sana kemari! Gak seru, Renna!” keluhnya.
Renna yang aslinya gak bisa renang itu berdalih yang macam-macam. Biar nggak ketahuan belangnya gitu.
“Loe renang aja! Gue akan ngamatin loe dari sini. Gue mo lihat kebolehan loe.”
Luthfi sangat berbangga hati karena udah dikasih kesempatan buat nunjukin kebolehannya. Dengan semangat yang menyala-nyala dia menunaikan tugasnya.
“Luthfi, Luthfi, Luthfi …!” teriak Renna menggebu-gebu.
Luthfi berenang dengan gigih. Tak tampak rasa lelah dan letih di dalam dirinya. Apalagi Renna nggak pupus-pupusnya memberikan semangat untuknya. Setelah dirasa cukup, dia segera berhenti.
“Gimana, Renna?”
“Oke. Tapi loe masih kalah dari Feri. Habis body loe terlalu melar sih!” gurau Renna.
Luthfi mendesah pelan. Capek-capek renang tetap aja kalah dari Feri. Rasanya suatu hari nanti dia ingin menguji kemampuan cowok itu.
“Emang seberapa hebatnya tuh anak sih?”
“Hebat banget deh. Loe gak ada apa-apanya dibandingin dia. Makanya loe harus banyak latihan!”
Luthfi mengangguk-angguk, lalu tiba-tiba dia jadi jail.
“Gue juga mau lihat loe renang!” Luthfi menarik Renna ke dalam kolam renang dan melepaskan tangannya di sana.
“Aaaa …! Tolongin gue, Fi! Gue gak bisa renang!” pekik Renna histeris.
Luthfi malah terpingkal-pingkal.
“Tolongin gue …!”
Renna menggapai-gapaikan tangan meminta bantuan tapi Luthfi malah terpingkal-pingkal. Dia sangka Renna cuma bergurau saja.
“Fi …!” jerit Renna sangat memilukan hati.
Ekting loe hebat, Renna. Tapi gue nggak akan tertipu sama loe, Luthfi terkagum-kagum.
“Fi …!” pekik Renna sekali lagi.
Luthfi masih tertawa-tawa. Tapi tika dilihatnya anak itu mulai tenggelam, dia segera menolong dan membawanya ke lantai yang dingin.
“Renna!” Luthfi menekan perut anak itu berkali-kali. Dari mulutnya keluar air terus-menerus.
Huk!
Perlahan-lahan Renna menggerakkan syaraf-syarafnya kembali.
“Fi …!” panggil Renna nyaris nggak kedengeran.
“Loe udah sadar, Renna. Ini gue, Luthfi.”
“Gue takut, Fi!” tangis Renna pecah seketika.
“Elo nggak perlu takut. Masih ada gue di sini. Gue janji lain kali ini nggak akan pernah terjadi lagi. Gue akan selalu ngejagain loe!”
Senyum Renna mengembang dengan sempurna di sudut bibirnya.
Luthfi segera menggendong Renna ke kamar. Dia mengambilkan baju ganti untuknya.
“Loe ganti baju dulu!” Luthfi nyodorin baju itu ke dia. Dengan senang hati Renna menerimanya, lalu menyuruh anak itu keluar.
“Elo keluar dong!”
Tanpa ngucapin sepatah kata pun Luthfi keluar dan menunggu Renna di depan pintu.
Selasai ganti baju Renna menemui Luthfi. Dia terkejut kala melihat anak itu masih memakai baju yang basah itu.
“Elo nggak ganti, Fi?”
“Ntar deh. Habis ini kita ngapain, Renna?”
“Mm … main basket aja deh!”
“Basket?!” Luthfi terbelalak.
Mati deh gue! Gue kan gak bisa main!
“Loe kenapa, Fi?” tanyanya bingung. Habis, mendadak muka anak itu jadi pucat pasi. Bikin Renna khawatir aja.
“Gue nggak pa-pa kok.”
“Bagus deh. Kalo gitu loe bisa ganti sekarang! Sementara gue mo ambil bola dulu!”
Luthfi mengangguk lesu.
Body semelar gini mana bisa main!
Tapi demi melihat binar-binar di mata Renna, Luthfi bersedia melakukannya.
Gue pasti bisa!
Luthfi bergegas ke kamar, lalu ganti baju dan ngacir ke lapangan. Di sana Renna telah menunggu.
“Loe siap?!”
Luthfi mengangguk.
Mereka bersaing untuk memenangkan kompetisi  itu.  Meski  kemampuan  Luthfi  nggak sepadan sama Renna, tapi dia terus berjuang mati-matian untuk mengambil bola dari tangan anak itu dan mencetak angka.
Renna yang sangat antusias dengan pertandingan itu berhasil memasukkan bola berkali-kali. Tapi kala dilihatnya Luthfi nggak juga berhasil masukin satu bola pun, dia mulai merasa curiga.
“Loe bisa main gak, Fi? Masa dari tadi gak ada satu bola pun yang loe masukin.”
Luthfi diam. Bingung mau jawab apa.
“Bisa, nggak?” tanya Renna menyidik.
Luthfi menggeleng pelan.
“Ya ampun! Kenapa gak bilang dari tadi? Sini! Gue ajarin!”
“Serius nih?”
“Kapan gue pernah boong sama loe?!” sewot Renna.
Luthfi terkekeh.
Renna ngajarin Luthfi cara bermain basket. Saking semangatnya latihan, mereka nggak sadar kalo family mereka ikutan nonton dan ngasih semangat Luthfi yang telah berjuang mati-matiaan buat masukin bola.
***
Pagi itu bandara Sukarno Hatta penuh sesak oleh ribuan anak manusia. Di antara mereka tampak Renna dan keluarga sedang mengantarkan kepergiaan orang yang mereka kasihi dengan setulus hati.
“Kasih gue sesuatu, Renna!”
”Ah, loe aja nggak ngasih apa-apa ke gue!”
Kan hati gue udah gue kasih ke loe.”
Renna manyun.
“Kalung loe buat gue ya?!”
“Dasar cowok gak tahu malu! Harusnya tuh loe yang ngasih ke gue. Bukannya gue yang ngasih ke loe!”
“Plis, deh! Sekali ini aja, Renna. Boleh ya?!”
Renna mencopot kalungnya dan menyerahkannya pada anak itu.
“Jaga baik-baik! Jangan sampai hilang, lho!”
“Oke.”
“Ehm … ngomong-ngomong loe bakal balik lagi, nggak?”
“Ngapain sih loe nanya-nanya? Loe ngerasa kehilangan ya?” ledek kakaknya.
Renna mencubit pinggangnya. Rony pun menggeliat kesakitan.
“Gue pasti balik kok. Saat ultah loe ke tujuh belas nanti, gue akan nemuin loe.”
“Tapi loe harus diet. Gue kan malu jalan sama loe!”
“Iya, gue ngerti kok.”
“Janji?”
“Ya, gue janji.”
Luthfi dan keluarga berpamitan pada mereka. Meski perasaan sedih dan kehilangan menjalari, namun mereka masih dapat tersenyum lebar.
***
Sebelum rasa kantuk datang untuk menyergap Renna, dia mengungkapkan perasaannya di buku diary miliknya. Ditemani lambaian angin malam nan spoi-spoi, diukirkannya goresan-goresan pena itu dengan lincahnya.
 
Tika kumulai buka tirai penghalang hati ini
Kau tlah pergi berlalu tinggalkan diriku
Kurasakan jiwa ini pun pergi bersamamu
Adakah ikatan ini akan terputus oleh waktu?
Ataukah kan tetap abadi?
Seperti ikrarmu datangi diriku
Tuk semaikan bunga cinta di taman hatiku 
 
  

Komentar