Dawai Cinta dan Persahabatan part 2

Ksatria Merah
Anak-anak Pelangi bersuka ria. Menyambut pagi nan cerah. Gegak gempita terdengar di mana-mana. Kantin nan sangat mungil namun masih sangat asri itu dipenuhi oleh para penghuninya. Mereka bermanja-manja hingga tidak menyisakan rona kesedihan walau sedikit saja.
“Itu kan cowok dari kelasnya pangeran!” Ririn membelalakkan mata bulatnya. Wajahnya yang cerah menandakan kalau hatinya sedang diselimuti kebahagiaan.
“Yang mana, Rin?”
“Yang rambutnya merah.”
“Swear lu?”
“Swear.”
“Cowok kayak gitu aja disenengin!” Reva, sang ketua kelas Ririn dan teman-temannya memarahi anak buahnya.
“Suka-suka aku dong,” balas Ririn tak mau kalah. “Kamu memang ketua kelas kita. Tapi, bukan berarti kamu berhak mengatur-ngatur kehidupan kami.”
Reva mendesah pelan. Rasa kecewa bercampur sedih menghinggapi hatinya. Namun dia tidak dapat menampakkannya pada mereka.
“Sekarang kan zamannya emansipasi, Rev. Anak cewek jangan diintimidasi dong!” Rea ikut menambahi.
“Siapa yang mengintimidasi kalian? Aku nggak melarang kalian bergaul dengan cowok tapi jangan dari kelas mereka,” Reva membela diri. “Mereka itu play boy.”
“Ah, bilang saja kamu iri! Ya kan?!” seringai mereka.
“Ngapain juga aku iri sama mereka?!” kilah Reva.
Ririn dan genknya justru semakin menjadi-jadi ulahnya.
“Atau jangan-jangan cewekmu disambar sama mereka ya?” tanya Lani menyidik.
“Nggak. Aku hanya tidak suka saja melihat mereka mempermainkan hati anak-anak cewek.”
“Hu… sok alim nih!”
“Biarin.”
“Aku mau dandan dulu ah!” Ririn yang menyandang kehormatan “Ratu centil” itu memoles wajahnya dengan makeup yang dibawanya dari rumah. Rambutnya yang semula dikucir jadi satu kini dibiarkan terurai. Jaket yang semula dipakainya itu ditalikan dipinggangnya.
Reva geleng-geleng kepala menyaksikan pemandangan itu. Apalagi setelah Lani dan Rea ikutan sibuk menarik-narik blusnya masing-masing, dia semakin kesal dengan ulah mereka itu.
***
“Nasinya satu, Bu!”
Bu kantin yang masih sibuk menuangkan lauk pauk ke dalam piring yang berjajar rapi itu mendongakkan kepala.
“Nak Fred kan barusan datang, harusnya antri dulu sampai tiba gilirannya nanti.”
“Ya… kelamaan, Bu!” desah cowok itu.
“Nggak lama, cuma sebentar saja kok.”
“Yang namanya menunggu ya sama aja. Nggak mengenakkan sekali. Semenit aja rasanya seperti setahun,” ujarnya parau. Bu kantin pun turut merasa iba. Namun anak-anak yang telah lama menunggu itu memprotesnya.
“Kami sudah menunggu sedari tadi!” ujar mereka dengan nada tinggi.
“Kalian lupa bicara sama siapa?!”
Mereka terbungkam oleh lengkingan suara Fred yang menggelegar itu. Beberapa menit kemudian mereka dapat membangun keberanian kembali.
“Ksatria Merah kan? Tapi, yang namanya keadilan kan harus ditegakkan tanpa pandang bulu.”
Keadilan? Fred tersenyum geli. Lalu sebuah ide membersit di dalam kepalanya.
“Kalian kan bertiga. Sedangkan aku cuma sendirian aja. Jadi… siapa yang harus mengalah?”
Mereka menelan ludah.
“Bagaimana…?” tanya Fred lagi.
“Terserah kau sajalah.”
Fred jingkrak-jingkrak.
“Makin lama Ibu makin cantik saja,” goda Fred yang diselingi dengan deraian tawa dari para penghuni kantin itu.
“Kalau kamu ingin merayu jangan di sini. Rayu saja gadis-gadis di sana!” kata Bu kantin seraya tersenyum geli.
“Enakan merayu Ibu.”
“Lho?”
“Kalau merayu Ibu, perutku jadi kenyang.”
Mereka semakin terpingkal-pingkal.
“Nak Ray dan Andre ke mana?”
“Nggak tahu, Bu.”
Tumben sekali Fred ditinggal sendirian. Apa persahabatan mereka telah berakhir? Ah, nggak mungkin. Pasti mereka tengah sibuk dengan urusannya masing-masing, bisik Bu kantin di dalam hati.
“Kalian kan biasanya sama-sama.”
Fred hanya mengangkat bahu. “Ngambek kali, Bu!”
“Mereka kan nggak suka gituan.”
“Kasihan si Merah… ditinggalin sendirian…!” ledek teman-temannya.
“Memangnya kalian. Mereka itu sahabatku sedari kecil. Kami sudah seiya sekata, senasib, seperjuangan and sepenanggungan lagi!”
“Do… segitu marahnya!”
“Eh… kalau kalian bukan anak-anak Pelangi sudah aku tendang sampai bulan!”
Deraian tawa semakin membahana.
***
Ririn dan genknya mulai beraksi menuruni lantai dengan berseri-seri. Tak lupa pula mereka sematkan sesungging senyuman nan menawan. Anak-anak Pelangi yang sudah mafhum dengan kelakuan mereka itu hanya tersenyum ringan. Menunggu pertunjukan nan telah berada di ambang mata.
“Hallo, Ksatria Merah…!” pekik mereka diikuti oleh anak-anak Pelangi yang berada di sana. Ririn dan genknya sangat kesal tetapi mereka memasang tampang yang semanis-manisnya.
Fred yang mendengar suara riuh itu menoleh.
“Siapa yang ngucapin say hallo padaku?” tanyanya sembari matanya sibuk mencari-cari.”Ayo tunjukin jari, jangan unjuk gigi!”
Serempak mereka mengacungkan tangan.
“Pusing aku mikirnya!” keluhnya.
“Fred sini…!” sebuah teriakan yang mengejutkan itu datang dari kerumunan anak-anak Pelangi yang membanjiri kantin tersebut.
Mau ngajakin aku makan? Boleh. Asalkan kau bisa menerima tantangan dariku ini, Fred mengambil sepiring nasi dan lauknya, lalu melemparkannya.
“Aaaa…!”
Fred terpingkal-pingkal menyaksikan para pengunjung kantin yang ketakutan, lalu dia mengalihkan pandangannya pada seseorang yang menyambar piring itu dengan tangan kanannya sehingga isinya dapat diselamatkan.
“Minumannya mana…?!”
Fred tersenyum simpul kala mendengar suara merdu itu. Suara nan sangat akrab sekali di telinganya. Suara milik teman tercintanya, “Ratu Trendy” cewek paling aktif and modis di Pelangi. Dia mengambil beberapa kaleng minuman dan melemparkannya satu-persatu. Ratu Trendy dan teman-temannya menangkapnya dengan cepat.
“Cukup.”
Fred menuruni lantai. Rambut merahnya yang sebahu melambai-lambai di udara.
“Wow kerennya…!” Ririn berseloroh.
“Oh, alangkah bahagianya daku jika engkau menjadi cowokku!” ujar Rea berbinar-binar sembari menghadirkan cowok itu ke dalam khayalannya.
“Sungguh engkau memang cowok pujaan hatiku!” Lani pun tidak mau kalah dengan teman-temannya.
Fred tersenyum geli melihat tingkah mereka.
“Dasar nenek centil! Weee…k!” Fay menaruh jemari lentiknya di samping kepalanya, lalu menggoyang-goyangkannya berkali-kali.
Ririn dan genknya merah padam namun anak-anak Pelangi hanya tersenyum renyah.
“Jangan kurang ajar, Trendy…!”
Fay tergelak-gelak dan makin memanas-manasi mereka.
“Nggak mungkin cowok di kelas kami tertarik sama kalian. Cewek-cewek di kelas kami kan keren-keren!”
“Cewek-cewek di sana kampungan semua…!”
“Bilang aja kalian iri. Kami kan sekelas sama pangeran dan para ksatria yang oke punya.”
“Ha…ha…ha…”
“Kasiaan deh lu…!”
Ririn dan genknya bagai bom yang siap meledak namun hal itu tidak membuat Fay menciutkan nyalinya. Dia tidak memiliki rasa takut sedikitpun pada mereka. Tapi mereka tidak dapat melakukan apa-apa. Bahkan untuk sekedar menjambak rambut lepeknya yang panjang itu pun mereka tidak bisa. Lebih tepatnya lagi tidak berani. Anak-anak Pelangi memang tidak ada yang berani macam-macam pada cewek yang satu itu karena dialah cewek kesayangan pangeran.
“Awas kamu, Trendy…!” geram Ririn.
Fay dan teman-temannya malah cekikian.
“Kamu jangan gitu dong, Fay!” Fred yang barusan sampai di tempatnya itu memprotesnya. “Cewek secantik dan secentil Ririn kok digituin!”
“Dasar play boy!” Fay membenamkan topi cowok itu. Fred membenarkan topinya kembali. “Cewek kayak gitu aja dibelain!”
“Doi kan paling gatel sama cewek begituan,” kata Angga turut menimpali.
“Jangan gitu dong, Ga!” protes Fred yang merasa disudutkan.
“Emang benar kok,” sambung Lily.
“Benar-benar kurang kerjaan!” Reddy menimpali.
Fred tersenyum kecut.
“Mendingan kita makan aja dulu…!” Lily yang suka berat sama makanan itu mencicipi hidangannya.
“Makan lagi, makan lagi…!”
Lily tertawa melihat wajah kuyu teman-temannya. Semua cewek Pelangi saling berlomba-lomba untuk mempercantik diri. Berlembar-lembar uang ratusan ribu bahkan sampai jutaan rupiah rela mereka keluarkan. Dia juga sering ke salon dan mall-mall pula. Tapi bukan atas dasar kemauannya sendiri melainkan dipaksa sama si Fay. Dia memermaknya menjadi cewek yang cantik dan sedap dipandang semua orang meskipun dia memiliki postur tubuh yang lumayan besar.
“Diet aja ya, Ly! Biar tambah oke,” bujuk Fay.
Lily hanya menggeleng pelan.
“Biar cowok-cowok makin sayang padamu,” Reddy ikut menyemangati tapi teman-temannya malah memandangnya penuh selidik.
“Jangan diapa-apain temanku!” Fay mendelik. Dia tidak terima kalau sahabat karibnya itu dijadikan kelinci percobaan cowok play boy macam dia.
“Nggak akan aku apa-apain dia, Fay.”
“Swear lu?”
“Swear,” jawab Reddy pucat yang disambut dengan deraian tawa Angga dan Fred. Namun demi melihat wajah Reddy yang semakin kusut akhirnya mereka mengambil sebuah inisiatif yang sangat bagus.
“Makan yuk…!” ajakan yang super-super lembut itu bagai halilintar yang menyambar-nyambar telinga Fay. Bola matanya yang bulat dan wajah merahnya membuat mereka beringsut. Mereka pun tenggelam dalam kebisuan hingga sebuah suara mulai menggema di angkasa. Suara dari perut Angga yang tengah keroncongan.
“Kayaknya si Angga sudah kelaparan tuh…,” kata Fred hati-hati.
Sendok dan garpu saling beradu. Mencipta genta nan merdu mendayu-dayu. Diselingi oleh tarian hati nan seri. Selembut mentari di pagi hari.

Komentar