Hari demi hari terus berlalu
Musim demi musim terus bergulir
Sunyi di hati memuncahkan rasa rindu nan dalam
Kini tibalah anak Hawa menuai janji
Janji seventeen nan slalu dinantikannya selama ini
“Kak Renna bangun! Udah siang nih!” teriak Ria nyaring di telinganya.
“Ada apa sih, Dek? Kenapa jam segeni loe ribut banget? Gangguin mimpi indah gue aja, deh!” Renna menutup kepalanya dengan bantal.
“Mimpinya ntar aja, Kak. Lihat wekernya tuh!”
Dengan malas Renna ngamatin weker yang ada di meja. Dia terbelalak kala mendapati jarum jam yang ada di sana .
“Auw … mati deh gue!”
Renna ngacir ke kamar mandi. Beberapa menit kemudian, dia telah keluar dari sana dan membereskan barang bawaannya.
Ria cuma terbengong-bengong menyaksikan aksi kakaknya.
“Kak Renna kenapa, ya? Kok jadi aneh gitu sih? Gue kan niatnya mau ngerjain doang!” gumamnya bingung.
“Eh, kok masih bengong sih? Buruan sarapan gih!” Renna menggelandang lengan adiknya.
Ria mengikuti saja perintah kakaknya.
Mereka menuruni tangga yang panjang. Tika barusan aja nyampai di meja makan, Renna udah bikin ulah lagi.
“Berangkat yuk, Pi!”
Papi, Mami dan Ria terbengong-bengong. Mami bangkit dari tempat duduknya dan nempelin tangannya ke kening Renna.
“Dingin kok,” Mami menghela nafas lega. “Kamu kenapa sih, Say?”
“Renna nggak pa-pa kok, Mi.”
Mami melempar pandang ke Papi.
Papi ngasih isyarat nggak tahu ke Mami.
“Pi …!”
“Aduh, Say. Ini kan masih terlalu pagi. Papi mau sarapan dulu!”
“Sarapannya di kantor aja deh, Pi. Renna ada janji sama teman nih!” rengeknya.
Mau, nggak mau Papi nyerah deh. Mana tegalah membiarkan putrinya kecewa!
“Minum susunya dulu, Pi! Renna juga!”
Papi dan Renna menyeruput susu pemberian dari Mami, lalu buru-buru kabur.
“Ria makan dulu, Sayang!”
“Ntar deh, Mi. Ria mau nunggu kak Rony.”
Tak selang beberapa lama kemudian, Rony pun nongol di tengah-tengah mereka.
“Adek kok belum makan sih?” tanya Rony keheranan.
“Nungguin kak Rony.”
“Adek ada perlu apa sama kak Rony?” tanya Rony yang merasakan Ria nampak sangat kebingungan.
“Ria mau nanya sesuatu sama kak Rony. Boleh kan ?”
“Boleh aja.”
“Kenapa pagi ini kak Renna jadi aneh, Kak?”
“Ya ampun!” Rony menepuk jidatnya sendiri. “Ini kan seventeen! Kok gue bisa lupa sih?!”
“Seventeen?!” Mami terbelalak. “Wua, akhirnya …!” Mami nggak kalah hebohnya pula.
“Emang kenapa sih sama seventeen?!” Ria garuk-garuk kepala.
“Ini urusan orang dewasa, Say. Adek nggak usah ikut campur!” Mami dan Rony mewanti-wanti.
“Kok semua orang jadi aneh gini!” Ria geleng-geleng kepala, pusing!
“Mami akan buatin menu yang spesial untuk Luthfi!”
“Jangan lupa sama cemilannya, Mi!” imbuh Rony.
“Luthfi itu siapa, Mi?”
“Kakak ipar Ria,” jawab Mami dan Rony kompak.
Ria terbelalak.
Acara sarapan pagi itu berlangsung sangat heboh sekali. Mereka nggak henti-hentinya ngomongin soal masa lalu Renna dan Luthfi ke Ria. Anak itu sampai terpingkal-pingkal mendengarnya.
***
Renna turun dari mobil, lalu berpamitan pada Papi tercinta dan ngacir ke kantin. Rencananya sih dia mau nunggu Luthfi di pintu gerbang tapi berhubung perut doi gak bisa diajak kompromi maka dia pun buru-buru ke sana .
Teman-teman yang melihat Renna terkejut bukan main. Bukan lantaran dia gak masuk sekolah selama sebulan. Tapi … karena aneh melihat anak yang biasanya molor tiba-tiba jadi gasik sekali.
“Benar, gak sih itu Renna?”
“Tauk, ah!”
“Kemarin dia udah ngerebut cowok-cowok kita, sekarang mo ngerebut predikat kita juga. Gak akan gue biarin!”
“Bukannya cowok-cowok kita yang selalu ngejar-ngejar dia!”
“Semua karena dia. Awas loe, Renna!”
Anak-anak cewek yang ngakunya paling terbeken di kelas itu kabur memburu Renna.
Di kantin yang nyaman sekali, Renna berlari-lari kecil sembari ngucapin kata-kata yang telah didengar sohib-sohibnya ribuan kali.
“Hallo, teman-temanku sayang!”
“Wua … Renna!”
Velina dan Elina menghambur kepelukan Renna.
“Tumben loe gasik amat, Say? Mau nyaingin Venna cs nih?!” Elina mulai membombardir Renna pake pertanyaannya yang bertubi-tubi.
“Sorry. Gue sih gak suka nyaingin orang, Say. Dia ‘kali yang selalu ngerasa tersaingi sama gue!”
“Pasti deh loe ngasih surprise sama kita-kita kan ?” tebak mereka berbunga-bunga.
Gelengan kepala Renna bikin pudar segalanya.
“Trus, buat siapa dong?”
“Buat teman lama gue.”
“Cowok atau cewek?”
“Cowoklah.”
Mereka terbelalak.
“Ha … loe kok jadi ikutan genit sih! Kesurupan apa loe tadi malam?!” tanya mereka keheranan.
“Enak aja loe ngomong! Gue tuh gak kesurupan apa-apa, Say.”
“Trus?” selidik Elina.
“Gue udah janjian sama dia. Waktu gue ultah keseventeen, dia akan nemuin gue,” kata Renna dengan rona mata nan berbinar-binar.
“Duile … yang lagi berbunga-bunga!”
Renna bersemu merah.
“Cowoknya cakep, nggak?” pancing Elina. Mau ngetes sohibnya itu.
“Tau, deh.”
Elina dan Velina kontan terkejut mendengar jawaban Renna.
“Emang loe nggak punya fotonya?” tanya Velina.
“Nggak.”
“Nelfon loe?” kejar Elina.
“Nggak.”
“Payah!”
“Apa?!”
“Ng … nggak kok. Maksud gue …”
“Loe pasti nyangka gue cewek bego kan ?”
“Nggak kok, Ren. Masa cewek terbeken dan terpopuler di kelas kita salah jalan sih!” tukas Elina cepat.
Renna menghela nafas lega.
“Kalo cowok itu jelek, gendhut, bodoh lagi, apa kalian masih mau temenan sama gue?”
“Loe ngomong apaan sih, Renna? Jangan ngaco gitu, ah! Biarpun seluruh dunia ngeledek loe, kami akan selalu ngedukung loe kok,” kata Velina berapi-api. “Ya kan , Lin?”
Elina mengangguk setuju.
“Kalian emang sohib terbaik gue.”
“Loe juga sohib terbaik kita kok.”
Mereka saling berpelukan. Namun kebahagiaan mereka segera sirna karena terdengar lengkingan suara yang menggelegar di udara.
“Heh, nenek centil! Apa sih yang loe inginin? Loe mau ngajak perang, hah?!”
Renna celingak-celinguk.
“Loe ngomong sama gue?”
“Siapa lagi kalo bukan loe!” sengak Venna.
“Loe jangan main labrak seenaknya dong! Emang salah gue apaan?” tanya Renna keheranan.
“Ih, pake pura-pura bego lagi!” semprot Venna makin sengit aja.
Renna bengong.
“Loe jangan main serobot seenaknya dong! Seluruh dunia tahu kalo gue tuh cewek paling gasik di sini!”
“Trus, apa hubungannya sama gue?”
“Loe mau nyaingin gue?”
Renna tersenyum geli. Begitu pula dengan teman-temannya. Aneh-aneh saja pikiran mereka. Masa cuma gara-gara berangkat awal saja langsung kebakaran jenggot sih?
“Bilangin tuh, Vel!” dengan gaya seorang politikus Renna menyuruh Velina untuk menjelaskan duduk perkaranya.
“Renna cuma mau nyambut teman kok. Doi tuh gak ada maksud buat nyaingin loe, Ve.”
“Gue nggak percaya!”
“Terserah loe! Maaf, Ve. Perut gue keroncongan nih. Gue mau sarapan dulu!”
Tanpa nunggu persetujuan dari cewek itu Renna ngeloyor ke tempat bi Minah, penjual makanan di kantin itu. Lalu dia memesan makanan.
“Nasinya, Bi!”
“Iya, Non.”
Bi Minah segera menyiapkan makanan.
“Gue belum selesai!” Venna merangsek ke arah Renna, lalu dia tarik kasar baju anak itu.
“Lepas!” perintah Renna. Mata bulatnya menatap tajam ke Venna.
Venna nggak ciut nyali. Dia balik nantangin Renna.
Renna menepis tangan Venna kasar.
“Sorry, Ve. Gue gak ada waktu buat ngeladenin loe!” Renna mengambil pesanannya, lalu ngeloyor ke meja makan bersama teman-temannya.
“Jangan mentang-mentang loe anak paling pandai di sini, trus loe bisa nginjak-nginjak gue seenaknya.”
Renna nggak menggubris kata-katanya. Doi malah asyik nikmatin makanannya. Bikin Venna cs makin geregetan deh.
“Ngakunya sih cewek terpelajar. Tapi …” Venna sengaja menggantungkan kata-katanya.
“Kelakuannya nggak kalah dari wanita penghibur. Tauk tuh berapa banyak cowok yang udah dia mainin!” Venni ikut menimpali.
“Eh, kalo ngomong jangan sembarangan dong!” bentak Elina.
Venna cs malah cengengesan.
Sejurus kemudian, Velina menarik tangan sohibnya. Menyuruhnya duduk.
“Buat apa sih loe pake ngeladenin mereka, Lin? Buang-buang waktu aja!”
“Dasar pengecut! Bilang aja loe takut!” ledek Vanni.
Loe tuh yang pengecut! Beraninya main keroyokan! ledek Velina dan Elina di dalam hati.
“Trus, loe sendiri apa? Nenek cerewet yang suka bikin gara-gara?!”
Renna yang lagi keserang demam puasa bicara tiba-tiba aja ikutan ngasih komentar. Tau tuh kenapa mulutnya jadi terasa gatal sekali sih?
“Jangan asal ngomong loe, Renna!” pelotot Vanni.
“Loe ‘kali yang suka asal ngomong sembarangan!” Renna balas meledek.
“Mau loe apa sih?” Venna benar-benar naik darah.
“Kan gue udah jelasin dari tadi! Loe nggak dengar ya?”
“Tuli ‘kali!” Velina dan Elina terkekeh-kekeh.
Meski amarah udah menyembul-nyembul, Venna dan teman-temannya coba menahan biar nggak tumpah.
“Awas kalo loe boong!”
Mereka berlalu dari hadapan Renna dan teman-temannya.
Renna dan teman-temannya tersenyum penuh kemenangan. Akhirnya mereka bisa menikmati makanannya tanpa ada gangguan dari nenek-nenek centil itu lagi.
“Eh, cepetan makannya dong!”
“Deu … segitu nggak sabarnya …!”
“Rese banget sih!” Renna ngejitak kepala mereka.
Habis makan mereka berlomba-lomba mencapai halaman sekolah yang sangat luas. Mereka mengamati setiap anak yang ada di sana .
“Mana cowok itu? Jangan-jangan doi kesasar ‘kali!” gusar Elina sambil melirik Renna.
Renna cemberut.
“Jangan manasin Renna mulu dong! Gak tahu apa doi lagi diserang rasa was-was! Gak solider amat sih!” kata Velina gemas.
“Balik ke kelas yuk! Paling-paling dia ingkar janji!” Renna membalikkan badan.
“Yah … kok cepat banget nyerahnya sih!” desah mereka.
Renna nggak menggubris mereka.
Loe pasti udah ngelupain gue, Fi!
“Wow … keren …!”
Renna langsung membalikkan badan pas dengar teriakan histeris dari teman-temannya. Senyumnya merekah indah namun beberapa menit kemudian semuanya memudar. Taulah dia kalo mereka cuma iseng aja.
Velina dan Elina memburu Renna. Mereka nggak tega membiarkan Renna terlarut dalam kesedihan.
“Sinar mentari begitu indah. Namun mengapa engkau bermuram durja? Uraikan seribu luka yang menggoreskan ketenangan di dalam raga!” Elina mulai kumat puitisnya deh.
Renna manyun.
“Tak tahukah engkau betapa perihnya luka di hati ini? Jika kau tak dapat berikan penawarnya, maka janganlah engkau torehi ia kembali!” Renna ikutan sok puitis pula.
“Aku takkan sanggup berikan penawar luka untukmu tapi aku kan terus mencari ia sampai ke langit biru.”
Duh, susah juga punya sohib yang puitis!
Karena merasa nggak nyambung sama obrolan sohib-sohibnya, Velina ngeloyor duluan. Rencananya dia mau ke perpus.
“Eh, mau ke mana, Say?” Renna dan Elina terbengong-bengong.
“Mau ke Perpus. Nyari puisi dari sastrawan terkenal. Biar bisa nyambung nih!”
Renna dan Elina terpingkal-pingkal.
“Sorry deh, sorry. Kita balik ke kelas aja! Bentar lagi bel nih!” cerocos Elina panjang lebar.
“Kurang lima menit.”
“Ayo masuk dong, Vel! Loe mau kena semprot Pak Hadi?” pancing Renna.
Velina membanyangkan sosok Pak Hadi, guru matematikanya yang killer abis itu ngomel-ngomel.
“Aaaa …!” jeritnya histeris. Dia langsung menyongsong sohib-sohibnya.
Mereka berlari kencang menyusuri koridor sekolah yang panjang. Setiap anak yang melihat kehebohan mereka segera mengalihkan perhatiannya lantaran heran.
Renna, Velina dan Elina ngos-ngosan. Dengan tergesa-gesa mereka menuju tempat duduknya.
“Ngapain aja kalian? Jam segini baru datang!” Riska, teman sebangku Velina nggak bisa nahan rasa herannya.
“Habis dari kantin,” tutur Velina pelan.
“Mau cari mati ya?! Pusing deh gue mikirin ulah kalian!” cercau Riska sambil megangin kepala.
Sekilas anak itu bertatap muka dengan Renna.
“Ha … ! Renna?” Riska mengucek-ngucek matanya berulang kali. Belum puas juga, dia cubit pipinya. Dia pun meringis kesakitan. “Beneran ini loe?!”
“Ya iyalah. Masa hantu!” Renna tersenyum geli.
“Brisik!” semprot Venna dan teman-temannya.
Mereka terkekeh. Gak mau ngerespon cewek-cewek jutek itu.
“Tumben loe gasik amat! Ada apaan sih?” tanya Riska usil. Cewek yang selalu bercita-cita jadi seorang detektif itu nggak bosan-bosannya nyari bahan berita. Tak heran kalo udah puluhan kasus yang menumpuk di gudang kesayangannya.
“Jangan sok usil deh! Clearin aja kasus loe yang udah numpuk segudang tuh!” rajuk Renna sambil ngenunjuk loker anak itu.
Riska tersipu-sipu.
“Duh, jangan sewot gitu dong, ah! Kalo loe punya problem, jangan sungkan-sungkan bertandang ke rumah gue. Gue pasti selalu ada buat loe kok. Tenang aja, Say! Tenang!”
“Brisik amat sih!”
Venna sibuk mengomel-ngomel tapi sayang gak ada yang mau merespon. Kasiaaan deh! Emang enak dicuekin?!
“Biasalah, Ve. Orang tolol ketemu sama orang tolol, pasti deh bikin onar aja kerjanya!”
“Hah, bukannya loe yang nyabet predikat itu, Va?!”
Vanni langsung mingkem deh! Kalah telak dari Riska. Tapi seperti biasa, dia segera mengelak dari tuduhan.
“Jangan asal ngomong loe! Tahu darimana soal gosip itu?!”
“Dari nara sumber gue yang paling terpercaya, dong!” jawab Riska dengan santainya.
Glek!
Vanni menelan ludah pahit.
Siapa yang berani buka rahasia gue?! tanyanya geram.
“Riska gitu loh! Apa sih yang gak bisa gue dapetin?!”
Vanni merah padam.
“Detektif ingusan sok tau!”
“Nggak pa-pa la, yauw!” kata Riska cuek.
Renna dan teman-temannya terpingkal-pingkal.
Venna dan teman-temannya benar-benar merasa terhina.
“Gimana, Say? Loe setuju kan sama tawaran gue?” tanya Riska bertubi-tubi.
Renna termenung. Gak satu pun suara yang terlontar dari mulutnya.
Riska ngenunggu jawaban Renna dengan dada berdebar-debar kencang.
“Oke, deh. Berapa tarifnya, Ris?”
“Nggak mahal kok. Cuma lima ribu doang sehari. Belum termasuk ongkosnya,” ngomongin soal tarif, ternyata mata Riska jadi ijo deh.
“Gak ada diskonnya nih?!”
“Oke, 10 %. Gimana?”
Renna menggeleng kuat-kuat.
“Oke, berhubung loe sohib gue yang paling pinter and baik pula, gue akan kasih loe diskon 20%. Setuju?”
“Nah, itu baru sohib gue yang baik!”
Riska tersenyum tipis.
“Klien gue tambah lagi nih!” soraknya gembira.
Beberapa detik kemudian Pak Hadi muncul dari balik pintu. Setelah berdo’a dan mengucapkan salam pelajaran pun segera di mulai.
***
Bel telah berdentang berulang-ulang. Rasa penat lantaran pelajaran yang rumit dan sulit mulai terobati. Anak-anak berduyung-duyung membanjiri kantin. Di antara mereka tampak Renna dan teman-temannya. Mereka asyik nikmatin bakso kegemaran mereka.
“Mana cowok yang loe ceritain ke kita-kita, Renna?” Elina mulai membuka percakapan.
Renna tertunduk lesu.
“Udah, deh! Jangan ngebahas soal itu lagi! Gak tau apa muka Renna jadi kusut masai gitu?!” semprot Velina.
“Iya, deh! Maaf …”
“Kalian pada ngebahas soal apaan sih?” tanya Riska yang bingung lantaran nggak nyambung sama topik pembicaraan itu.
“Udah! Urusin aja kasus loe!” perintah Renna lesu.
Riska mendesah pelan.
“Mentang-mentang gue sibuk ngurus klien, loe jadi gak mau curhat sama gue nih!” desah Riska.
“Jangan sewot gitu dong, Ris! Gue kan nggak enak sama klien-klien loe yang seabrek-abrek itu,” papar Renna.
“Suer nih? Loe gak boong kan ?”
“Suer deh.”
“Oya, gimana soal temanmu itu. Siapa namanya …?” tanya Elina.
“Luthfi.”
“Luthfi siapa sih?” Riska yang asyik membaca setumpukan kasus itu nggak bisa nahan rasa herannya.
“Udah, Ris! Loe lupain aja masalah Renna! Yang harus loe lakuin tuh fokus nyelesain semua itu!” ujar Velina gemas sambil menunjuk berlembar-lembar kertas yang ada di tangan sohibnya itu.
Habis dari tadi doi nggak konsen-konsen jua. Matanya masih sibuk melirak-lirik sohib-sohibnya.
“Iya, deh,” kata Riska lesu.
“Ada baiknya kalo loe lupain saja dia, Renna! ‘Kali aja dia cuma mau ngerjain loe!”
“Nggak mungkin Luthfi setega itu sama gue, Vel. Gue yakin kok bentar lagi Luthfi pasti datang.”
“Tapi loe liat sendiri, jam segini doi gak juga nongol!” Elina coba nyadarin Renna dari mimpinya pula.
“Gue yakin Luthfi pasti datang kok,” Renna masih kukuh pada pendiriannya.
“Terserah loe aja deh.”
Sejurus kemudian mereka ngalihin perhatian ke Riska.
Cewek yang semula berkutat dengan kasus barunya itu segera menggeser tubuhnya ke samping. Biar teman-temannya gak bisa lihat gitu.
Tapi mereka nggak kehilangan ide buat mendapatkan informasi yang sangat rahasia itu.
“Ehm … serius amat nih. Kami boleh ikut gabung kan ?!”
Senyum Riska yang mengembang dengan sempurna itu bikin mereka happy. Tapi …
“Enak aja!”
“Boleh ya, Ris? Jangan pelit gitu dong, ah!”
Meski susah payah mereka bersikeras mau melihat isinya.
Riska mengelit dari serangan teman-temannya yang sangat ganas. Tapi tenaganya cuma buat sebentar saja. Akhirnya selembar kertas jatuh ke tangan mereka.
“Gue punya problem yang berat nih, Ris. Gue punya seorang teman yang sok kece banget. Berulang kali doi selalu ngebikin aku kesal lantaran doi suka ngerebut perhatian dari semua anak yang ada di sekolah ini. Loe bisa ngebantuin gue gimana caranya agar gue bisa ngasih pelajaran yang setimpal sama anak itu kan ? Plis, tolongin gue, Ris?”
“Kasihan …!” Renna dan teman-teman kompak terkekeh-kekeh.
“Dasar payah! Gitu aja pake minta nasehat pakar segala!” ledek Elina.
“Eh, Ris kayaknya loe harus ambil cuti deh! Biar anak-anak nggak pada manja. Masa cuma karna hal sepele gini harus minta saran loe juga!”
“Enak aja loe! Kalo gue cuti, gimana nasib keluarga gue?”
“Ah, bukannya ayah loe juga kerja. Kalo loe ngambil cuti satu atau dua hari pasti gak pa-pa.”
“Tapi …”
“Udah gak usah pake tapi-tapian segala. Suka, nggak suka besok loe harus libur!”
“Jangan main paksa gitu dong! Itu kan hak privasi gue!”
“Gue juga punya hak yang sama buat ngelarang loe.”
“Susah deh ngomong sama cewek keras kepala kayak loe.”
Renna terkekeh.
“Surat dari siapa nih? Kok gak ada pengirimnya sih?”
“Masa sih!”
Riska segera ngambil surat itu dari tangan Renna.
“Dasar orang aneh! Masa gue dikasih surat kaleng. Emang gue detektif apaan?”
“Detektif kacangan ‘kali,” Renna dan teman-temannya terkekeh-kekeh.
Riska manyun seketika.
“Makanya lain kali loe jangan mau nerima surat kaleng lagi.”
“Tapi … kalo tiap hari gue dapat surat kaleng terus kan gue bisa dapat untung besar. Tarifnya lebih mahal, tauk!”
“Dasar matre! Bawaannya mikirin untung melulu!”
Riska terkekeh.
Pas Renna dan teman-temannya lagi asyik ngobrol ngalor-ngidul, tiba-tiba Venna cs ikutan nimbrung. Pake gayanya yang nyebelin banget tentunya.
“Deu … si centil punya fans rahasia niye …!”
Renna dan teman-temannya tercenung.
“Maksud mereka apa sih, Vel?”
“Tauk, ah. Gue juga nggak ngerti, Lin.”
“Dasar nenek-nenek kurang kerjaan! Gak jera-jeranya ngegangguin orang!” semprot Renna dengan nyaringnya.
Mereka terkekeh.
“Duh, loe kok jadi marah-marah gitu sih, Say?! Mentang-mentang udah punya fans rahasia. Kayak apa sih si dia …?” ledek Venna makin menjadi-jadi aja.
“Emang kapan gue punya fans rahasia? Jangan ngaco loe!” Renna makin sebal aja.Gak jera-jera mereka selalu membuat gara-gara.
“Ih, pake pura-pura nggak ngaku lagi!” kata mereka kompak.
“Udah deh kalian jangan pada ngegangguin gue mulu! Bete tau gue ngelihatnya! Pergi sana ! pergi!” usir Renna galak.
“Cie … Renna punya cowok baru!”
Habis puas ngerjain Renna mereka segera berlalu dari hadapannya.
“Kenapa sih mereka nggak bosan-bosannya ngeledekin gue mulu?!” keluhnya.
“Udah biarin! Buat apa sih pake dipikirin segala? Bikin pening aja, deh!”
“Gue kan jadi nggak mood lagi, Lin.”
“Mo mood loe kembali lagi?” pancing Elina.
Renna ngangguk.
“Makan yang banyak. Gue jamin deh mood loe pasti bakal balik lagi!”
“Huh, dasar!”
Elina terkekeh-kekeh.
Renna meneruskan makannya kembali. Namun baru beberapa suapan, doi kembali diganggu temannya lagi.
“Siapa cowok itu, Renna? Pacar loe?” datang-datang Feri memborbardir Renna dengan bertubi-tubi. Jelas sekali cowok itu lagi dibakar rasa cemburu.
Renna kesal sekali dengan perlakuan cowok itu. Dari dulu dia selalu saja mau ikut campur dengan urusan orang lain.
“Mau pacar atau bukan emang apa peduli loe?!”
“Jelas aja gue peduli. Loe kan calon cewek gue.”
“Loe sinting ‘kali ya?!” Renna menumpahkan kekesalannya. Dia ngeloyor sebal meninggalkan cowok itu. Dia telah kehilangan mood untuk menghabiskan bakso yang telah dipesannya itu.
“Loe kenapa sih, Fer? Datang-datang kerjaannya bikin kacau saja!” Elina, Velina dan Riska kompak menggerutu. Merekapun pergi menyusul Renna.
Sepanjang koridor kelas Renna terus dilihatin oleh semua teman-temannya dan sebalnya lagi mereka mengatakan hal yang sama pula.
“Cie… Renna punya fans rahasia niye!”
Renna yang sedang bingung buru-buru berlari ke kelas untuk mengetahui jawaban dari keanehan sikap teman-temannya pagi ini. Betapa terperangah kala dia mendapati ada sepucuk surat dan mawar merah tergeletak di mejanya. Dibacanya surat itu dengan dada berdebar-debar.
Tika purnama tlah tampakkan keanggunan parasnya
Kucoba tuk penuhi ikrar suci
Bertemu denganmu pelita hati
Hanya ada secercah harapan di sanubari
Semoga kau rasai getar yang sama di hati ini
Rindui akan tibanya pertemuan bertaburkan getar-getar cinta nan indah
From some one with love
Renna terbelalak seketika. Siapa sih yang menulis surat itu? Mungkinkah Luthfi? Senyum Renna mengembang sempurna, lalu dengan hati riang dia berlari-lari kecil menuju halaman sekolah. Dia ingin menumpahkan perasaannya di sana dan tidak mempedulikan tanggapan dari teman-temannya.
“Renna, tunggu…!” teriak kedua sahabatnya, tapi sayang cewek itu tidak menghiraukannya. Mereka segera berlari kencang mengejar dirinya.
Begitu sampai halaman, Renna berteriak kencang sekali sembari memegang sekuntum mawar merah dan surat yang ada di tangannya.
“Luthfi... I miss you…!” teriaknya berulang-ulang kali.
Dada Renna berdebar-debar kencang ketika ada seorang cowok keren tiba-tiba menghampirinya. Mungkinkah dia itu Luthfi? Tidak berbeda dengannya, kedua sahabatnya pun merasakan hal yang sama pula.
“Ngapain loe teriak-teriak manggil-manggil gue? Kayak orang gila saja!”
Renna tergugu pilu. Ditatapnya sayu cowok yang telah berlalu dari hadapannya itu. Dia sangat terpukul melihat Luthfi telah berubah drastis dan lebih sedih lagi ketika mengetahui cowok itu tidak mengenali dirinya sama sekali.
Kuimpi-impikan dirimu di buai mimpi
Berharap kau kan kembali tuk balut selaksa rindu di sanubari
Tapi hanya peri yang kudapati
Kini kau tlah kembali dengan keangkuhanmu
Terkoyaklah cita ini tuk impikan akhir pertemuan yang indah dengan dirimu
Velina dan Elina merangkul pundak Renna untuk membesarkan hatinya. Mereka pun ikut berempati atas apa yang telah menimpa dirinya.
“Loe nggak usah dengerin kata-katanya! Gue yakin, dia bukan Luthfi yang loe tunggu-tunggu!” kata Elina.
“Iya, Renna. Kita balik ke kelas yuk!” ajak Velina mengalihkan perhatian Renna. Dia tidak ingin melihat sahabatnya itu terus bersedih mengenang pertemuan yang sangat mengecewakan itu. Dia pun berharap semoga cowok itu bukanlah orang yang dinanti-nantikan oleh sahabatnya.
Renna mengikuti saja ajakan mereka. Dia berjalan gontai menyusuri koridor kelas. Pelajaran berikutnya akan segera dimulai beberapa menit lagi karena waktu istirahat akan segera selesai. Sepanjang pelajaran itu Renna lebih sering melamun dan tidak konsentrasi. Pikirannya benar-benar sangat kacau sekali.
Satu-persatu anak-anak berpakaian putih abu-abu keluar dari kelas begitu mendengar bel berdentang keras. Mereka akan pulang ke rumah masing-masing. Di antara keramaian itu, Renna berdiri terpaku menatap Luthfi yang berada tidak jauh darinya. Cowok itu asyik mengobrol dengan salah satu temannya. Ketiga sahabat yang berada di sampingnya tidak bisa berbuat apa-apa selain membiarkan cewek itu memandang cowok idamannya.
“Loe kenal sama cewek yang berada di sana itu?” tanya Luhfi.
“Itu Renna, cewek dari kelas 3A. Kenapa loe nanyain dia?” tanya temannya curiga. Pikirnya, Luthfi pasti terserang virus merah jambu pada cewek itu.
“Apa loe pernah dengar kalau cewek itu punya riwayat kelainan jiwa, Al?”
“Gue rasa nggak,” jawab cowok yang bernama lengkap Alfian itu.
“Oh, gitu ya. Gue kira dia punya kelainan jiwa, sebab tadi gue lihat dia teriak-teriak manggil-manggil gue di halaman sekolahan,” papar Luthfi.
“Masa sih?” Alfian terbelalak mendengarnya. “Kali dia ngefans berat sama loe!”
“Loe ini ada-ada saja,” kata Luthfi sembari tersenyum tipis. Ngefans darimana? Dia sama cewek itu kan nggak saling kenal sama sekali.
Selesai mengobrol, mereka berdua pulang berboncengan naik motor balap meninggalkan Renna yang masih berdiri sayu di tempatnya.
Beberapa menit kemudian, Renna dan teman-temannya masuk ke dalam mobil milik Velina. Sepanjang perjalanan Renna lebih banyak diam dan pikirannya pun mengembara ke mana-mana. Dia masih sangat syok menerima kenyataan pahit itu.
***
Mami, Papi, Rony dan Ria duduk termangu memandangi menu makan malam mereka. Nafsu makan mereka mendadak hilang begitu melihat Renna mengurung diri di kamarnya. Cewek manis itu tidak juga mau keluar dari tempat persembunyiannya.
Mami memutuskan menemui Renna dan membujuknya untuk makan malam bersama anggota keluarga yang sudah menunggu di ruang makan.
“Jangan bersedih lagi, Sayang! Mami yakin, cowok yang kamu temui itu bukanlah Luthfi. Mungkin dia hanya memiliki nama yang sama dengannya,” kata Mami sembari membelai rambut indahnya.
“Renna juga mengharapkan yang sama, Mi,” kata Renna yang perlahan-lahan mulai bisa meredam rasa sedihnya akibat insiden buruk tadi pagi.
“Ayo, kita makan sekarang, Sayang! Papi, kak Rony dan Ria sedang menunggu kita di ruang makan,” ajak Mami yang langsung mendapat persetujuan dari Renna.
Mereka menikmati makan malam dengan rasa suka cita. Selesai makan mereka menghabiskan waktu dengan bercanda ria di ruang keluarga. Rasa sedih dan kecewa karena tidak ada kehadiran Luthfi di tengah-tengah mereka perlahan-lahan mulai sirna. Bahkan nostalgia di masa lalu antara Renna dan Luthfi malah menjadi topik pembicaraan yang sangat hangat di antara mereka.
“Gimana ya cowok itu sekarang? Mungkinkah bodynya masih semelar yang dulu?” tanya Rony penasaran.
“Gue yakin cowok itu nggak banyak berubah. Mana mungkin dia dapat berubah menjadi cowok macho dan keren kalau makannya saja serakus gitu!” kata Renna penuh keyakinan.
“Ya… meski begitu loe tetap suka kan ?!” goda Rony.
Renna langsung menggelitiki perut kakaknya.
“Ya, iyalah. Cinta pertama gitu lho!” kata Ria semakin memeriahkan suasana.
Pipi Renna memerah lantaran malunya.
Mami dan Papi tersenyum bahagia melihat binar-binar keceriaan di mata putra-putri tercinta mereka.
Tika malam semakin larut, satu-persatu anggota keluarga itu kembali ke kamarnya masing-masing. Di dalam keheningannya, Renna membaca kembali surat cinta yang didapatinya tadi pagi. Setelah puas, maka dia merangkai kata, lalu menggoreskannya pada buku diarynya.
Kala rindu menggoda
Kupejam mata mengenang kembali kenanga indah dahulu
Terajutlah taman-taman cinta di dermaga biru
Tika musim semi tlah tiba
Kunantikan hadirmu bawa pelita terang sinari kalbu
Tapi kau tak kunjung bersua padaku
Hanya sebuah surat cinta syahdu saja yang engkau kirimkan padaku
Yang menjadi penawar lukaku
Menemani hati nan gelisah
Rindui secercah cahaya penyeri jiwa yang lara
Komentar
Posting Komentar